What's new

Indonesia Defence Forum

Their artillery are licensed Bofors FH77 , why dont we seek the og manufacturer instead ?

No, it was different. Their look maybe close to those bofors but they are improved indigenous version and had nothing to do with the bofors, thing like Anoa and VAB in analogue

The way that person address us as " you " instead of " we ", that man above is no Indonesian as he prescribes in his/her Bio

I found several people with alike minded in this forum. Chinese uber alles, oh maybe PRC uber alles mindset.
 
I wish Indonesia can developed their own VLS and Naval and ground based Air defense missile system. It is an necessary steps to gaining more foothold on defense industry. The likes of South Africa (with their Ukhomto) and Israel (with their Barak) itselves prove one doesnt need to have large fleets Navy like the USA or China to developed such system. Indonesia itselves need large number of surface combatant Warships in the future to secure the nation it is imperative to developed a complete package of Naval system, starting from Air search defense radar, naval radar, VLS, Air defense missile, gun based Close weapon system , ECM, jamming, AEW, CMS, set of radio system and satellite comm. including tactical data link and AShM. Indonesia need to emulated the way of South Korean and Turkey
 
Rencana Pelibatan TNI Hadapi Terorisme Dianggap Membahayakan HAM
Sabtu, 9 Mei 2020 19:59 WIB

833227_720.jpg

TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari sejumlah lembaga yang fokus pada isu hak asasi manusia (HAM) meminta seluruh fraksi di DPR RI menolak rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Mereka berdalih aturan itu berbahaya bagi penegakan hukum dan HAM di Indonesia dan bertentangan dengan Undang-Undang tentang TNI.

Koalisi menilai aturan itu memberikan mandat yang luas dan berlebihan kepada TNI. Terlebih pengaturan tersebut tidak diikuti mekanisme akuntabilitas militer yang jelas untuk tunduk pada sistem peradilan umum.

Menurut koalisi, hal itu membuat penanganan tindak pidana terorisme oleh TNI lewat fungsi penangkalan, penindakan dan pemulihan (Pasal 2 Rancangan Perpres) memberi cek kosong bagi militer dan berbahaya.

"Jika terjadi kesalahan dalam operasi yang mengakibatkan terlanggarnya hak-hak warga negara, mekanisme pertanggungjawabannya menjadi tidak jelas," kata peneliti Imparsial, Husein Ahmad, dalam keterangan tertulis, Sabtu, 9 Mei 2020.

Deputi Koordinator KontraS, Feri Kusuma, menuturkan pengaturan fungsi penangkalan seperti yang tertuang dalam Pasal 3 rancangan ini sangat luas, namun tanpa penjelasan yang lebih rinci. Imbasnya TNI berhak terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme, baik di dalam maupun di luar negeri.

Koordinator Program Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, berujar istilah penangkalan tidak dikenal dalam Undang-Undang No 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Menurut dia, UU tersebut hanya mengenal istilah pencegahan yang dikoordinasikan oleh BNPT, bukan TNI. "Berbeda halnya dengan Rancangan Perpres ini, TNI diberi kewenangan untuk dapat melakukan pencegahan (Pasal 7 Rancangan Perpres)," tuturnya.

Julius mencontohkan masalah yang bisa timbul jika perpres ini sah adalah militer bisa mengambil alih tugas penegak hukum. Padahal hakikat dibentuknya TNI adalah sebagai alat pertahanan negara yang dilatih untuk menghadapi perang. "Bukan untuk penegakan hukum," ujar dia.

Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin, menambahkan tugas militer dalam mengatasi kejahatan terorisme selayaknya ditujukan khusus untuk menghadapi ancaman di luar negeri, seperti pembajakan kapal atau pesawat atau operasi pembebasan warga negara Indonesia di luar negeri.

Jika TNI ingin terlibat penanganan terorisme di dalam negeri, maka sifatnya hanya perbantuan kepada aparat penegak hukum. Pelibatannya pun harus melalui keputusan politik negara seperti yang tertuang dalam UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI, yakni keputusan presiden yang dikonsultasikan dengan DPR

"Sementara di dalam Rancangan perpres ini, pengerahan TNI dalam mengatasi tindak pidana terorisme dapat dilakukan hanya melalui keputusan presiden tanpa ada pertimbangan DPR yang disyaratkan oleh UU TNI," ucap Husein.

TEMPO

So, is it good or bad?
 
Rencana Pelibatan TNI Hadapi Terorisme Dianggap Membahayakan HAM
Sabtu, 9 Mei 2020 19:59 WIB

833227_720.jpg

TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari sejumlah lembaga yang fokus pada isu hak asasi manusia (HAM) meminta seluruh fraksi di DPR RI menolak rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Mereka berdalih aturan itu berbahaya bagi penegakan hukum dan HAM di Indonesia dan bertentangan dengan Undang-Undang tentang TNI.

Koalisi menilai aturan itu memberikan mandat yang luas dan berlebihan kepada TNI. Terlebih pengaturan tersebut tidak diikuti mekanisme akuntabilitas militer yang jelas untuk tunduk pada sistem peradilan umum.

Menurut koalisi, hal itu membuat penanganan tindak pidana terorisme oleh TNI lewat fungsi penangkalan, penindakan dan pemulihan (Pasal 2 Rancangan Perpres) memberi cek kosong bagi militer dan berbahaya.

"Jika terjadi kesalahan dalam operasi yang mengakibatkan terlanggarnya hak-hak warga negara, mekanisme pertanggungjawabannya menjadi tidak jelas," kata peneliti Imparsial, Husein Ahmad, dalam keterangan tertulis, Sabtu, 9 Mei 2020.

Deputi Koordinator KontraS, Feri Kusuma, menuturkan pengaturan fungsi penangkalan seperti yang tertuang dalam Pasal 3 rancangan ini sangat luas, namun tanpa penjelasan yang lebih rinci. Imbasnya TNI berhak terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme, baik di dalam maupun di luar negeri.

Koordinator Program Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, berujar istilah penangkalan tidak dikenal dalam Undang-Undang No 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Menurut dia, UU tersebut hanya mengenal istilah pencegahan yang dikoordinasikan oleh BNPT, bukan TNI. "Berbeda halnya dengan Rancangan Perpres ini, TNI diberi kewenangan untuk dapat melakukan pencegahan (Pasal 7 Rancangan Perpres)," tuturnya.

Julius mencontohkan masalah yang bisa timbul jika perpres ini sah adalah militer bisa mengambil alih tugas penegak hukum. Padahal hakikat dibentuknya TNI adalah sebagai alat pertahanan negara yang dilatih untuk menghadapi perang. "Bukan untuk penegakan hukum," ujar dia.

Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin, menambahkan tugas militer dalam mengatasi kejahatan terorisme selayaknya ditujukan khusus untuk menghadapi ancaman di luar negeri, seperti pembajakan kapal atau pesawat atau operasi pembebasan warga negara Indonesia di luar negeri.

Jika TNI ingin terlibat penanganan terorisme di dalam negeri, maka sifatnya hanya perbantuan kepada aparat penegak hukum. Pelibatannya pun harus melalui keputusan politik negara seperti yang tertuang dalam UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI, yakni keputusan presiden yang dikonsultasikan dengan DPR

"Sementara di dalam Rancangan perpres ini, pengerahan TNI dalam mengatasi tindak pidana terorisme dapat dilakukan hanya melalui keputusan presiden tanpa ada pertimbangan DPR yang disyaratkan oleh UU TNI," ucap Husein.

TEMPO

So, is it good or bad?
terorisme dalam skala seperti apa ? kalau sudah sebesar Sulu , ISIS ,IRA , Arakan yang sudah menjadi grup paramiliter apa polisi sanggup ?

TNI hanya untuk menghadapi perang , sekarang juga ada stigma "perang terhadap terorisme" .
 
terorisme dalam skala seperti apa ? kalau sudah sebesar Sulu , ISIS ,IRA , Arakan yang sudah menjadi grup paramiliter apa polisi sanggup ?

We got Brimob, they are large enough (around 50-60 000 member) and they can be armed heavily to guard against large scale local disturbance.

Not to mention, Polisi got Sabhara corps and they are usually being armed with assault rifle and supported by SUV car.
 
The only military assets involved in COIN/Counter-terrorism within state boundaries should really just be the Air Force and Army aviation, things that the POLRI lacks/should not have to prevent the blurring of roles. The POLRI can do the brunt of the ground work.

If they do go ahead with a Tri-service Komcad program then you can see them likely supplementing POLRI units similar to what the US National Guard does with their civilian counterparts.
 
Actually there is little to no reason TNI to be deployed actively to curbs terrorism. Jakarta need more decisive to put TNI into their supposed roles, if condition persist or quite urgency they can be deployed as supporting roles, but the spearhead should be in Police shoulder.
 
The only military assets involved in COIN/Counter-terrorism within state boundaries should really just be the Air Force and Army aviation, things that the POLRI lacks/should not have to prevent the blurring of roles. The POLRI can do the brunt of the ground work.

If they do go ahead with a Tri-service Komcad program then you can see them likely supplementing POLRI units similar to what the US National Guard does with their civilian counterparts.
this
 
What kind of role/authority that will be given to the TNI by the new counterterrorism law? Is official Polri request no longer needed for TNI to joint counter-terrorism ops?
 

Latest posts

Back
Top Bottom