What's new

Indonesia Defence Forum

Last month news. Interesting the last batch delivery of 5 units AH-64E Apache Guardian attack helicopters also includes a Simulator and 64 Hellfire Missiles.

Lima Helikopter Apache Pesanan TNI AD dan Simulatornya Tiba di Semarang


REDAKSI
SUNDAY, APRIL 22, 2018



Infokomando - Sebanyak lima unit heli serang jenis AH-64E Apache Guardian pesanan Puspenerbad TNI AD plus spareparts dan persenjataannya kembali tiba di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Jumat, (20/4).

Kelima helikopter tersebut dikirim dari Amerika menggunakan kapal kargo Ocean Giant dan sesuai rencana, helikopter serang AH-64E Apache Guardian ini akan ditempatkan di Skadron 11/ Serbu Pangkalan Udara Ahmad Yani dan melengkapi tiga unit helikopter yang telah tiba sebelumnya.

Tidak hanya helikopter dan suku cadangnya, sebuah mesin simulator helikopter Apache juga ikut dalam satu paket pengantaran dimana alat simulator tersebut berfungsi untuk melatih kemampuan para pilot TNI AD dalam mengoperasionalkan helikopter yang dijuluki The Tank Killer ini. Selain itu, sebanyak 64 misil jenis Hellfire juga ada dalam satu kargo dan langsung dibawah ke Skuadron 11/Serbu untuk diamankan. Sedangkan untuk helikopternya sendiri tetap berada di pelabuhan untuk dirakit yang kemudian juga akan dibawa ke Sekuadron 11/Serbu.

Proses bongkar muat ini selain melibatkan teknisi asing juga dilakukan oleh personel dari Puspenerbad TNI AD sendiri.

http://www.infokomando.com/2018/04/lima-helikopter-apache-pesanan-tni-ad.html?m=1
 
Woow ... Do you think that "islam" has already been a biggest threats in your country .. especially for "non-moslem" ...?
PPRC 2018
Perebutan-e1526186597256.jpg

Perebutan-2-e1526186941676.jpg
Perebutan-3-e1526187033286.jpg
Selaru-4-e1526134369403.jpg
Selaru-8-e1526134678316.jpg
Selaru-7-e1526133958224.jpg
Menduduki-2-e1526126643236.jpg

Selaru-6-e1526134478611.jpg
Selaru-3-e1526134257146.jpg


hmmmmmm serangan teroris malah bawa bawa pemilu pretttt......untung saya putih wkwkwkwkwk
Ya jelas di bawa ke pemilu. Bagi mereka ini politik. Mereka tahu ada korban tapi masih bersikeras. mereka membuat aparat terkendala dengan regulasi. Maunya apa. Apa mesti kantor mereka yg di bom dulu?
Karena itu dari pada mereka menghalang-halangi itikad baik maka lebih baik mereka kalah di pemilu. Jika ada kelompok politik yg Lebih Mengedepankan tujuan politik golongan dari pada kepentingan bersama di saat genting seperti ini dan mulai berjatuhan korban maka mereka pantas di sebut orang yg buta mata dan hatinya.

Kepentingan negara dahulu setelah itu baru kelompok.
 
Mulai dari pilkada aja deh, partai yg suka hoax dan sebar isu sara harus dikalahkan, terutama di jawa barat, itu lumbung suara terbesar di indonesia tapi didominasi partai yang pro khilafah, ayo bung rebut kembali jangan sampai mereka menang 2019

Did you just accuse PDIP as a party that like to spread hoax and using SARA (racialism etc) for their own benefit? And they also "pro khilafah"?

Ya jelas di bawa ke pemilu. Bagi mereka ini politik. Mereka tahu ada korban tapi masih bersikeras. mereka membuat aparat terkendala dengan regulasi. Maunya apa. Apa mesti kantor mereka yg di bom dulu?
Karena itu dari pada mereka menghalang-halangi itikad baik maka lebih baik mereka kalah di pemilu. Jika ada kelompok politik yg Lebih Mengedepankan tujuan politik golongan dari pada kepentingan bersama di saat genting seperti ini dan mulai berjatuhan korban maka mereka pantas di sebut orang yg buta mata dan hatinya.

Kepentingan negara dahulu setelah itu baru kelompok.

FYI, the RUU Terrorism is at the hand of the government, not DPR. The government (thru kemenkumham) kept delaying the meeting with DPR because they have yet to define "Terrorism".
 
Did you just accuse PDIP as a party that like to spread hoax and using SARA (racialism etc) for their own benefit? And they also "pro khilafah"?



FYI, the RUU Terrorism is at the hand of the government, not DPR. The government (thru kemenkumham) kept delaying the meeting with DPR because they have yet to define "Terrorism".

FYI

Rancangan ini membuat UU Terorisme punya kedekatan dengan Internal Security Act (ISA) Singapura dan Malaysia yang memang dijadikan rujukan pemerintah Indonesia dalam merancang RUU Terorisme. Pasal 73 ayat 1 ISA Malaysia menyebutkan bahwa polisi bisa menahan seseorang selama 60 hari tanpa surat perintah dan bantuan hukum. Setelah 60 hari, Kementerian Dalam Negeri Malaysia bisa memperpanjang masa tahanan tanpa sidang sampai dengan dua tahun. Itu semua bisa dilakukan tanpa menyertakan bukti apa pun.

Pemerintah dan Densus 88, kata Ketua Pansus Syafii, berargumen rancangan pasal tersebut harus lolos agar penanganan terorisme bisa cepat dilakukan sejak dini. Sebab, jika menunggu cukup bukti seperti yang diatur dalam KUHAP, akan memakan waktu yang lama dan membuat jejaring teroris terus berkembang.

Menurut Syafii, poin krusial inilah yang menjadi bahan perdebatan yang alot di antara fraksi-fraksi di DPR. Pemerintah bersama beberapa fraksi DPR tetap ngotot rancangan tersebut lolos. Di sisi lain, beberapa fraksi menolak rancangan tersebut.

"Kalau dilihat pemerintah itu memang sudah terpengaruh kepentingan polisi. Mereka kan maunya langsung tangkap, tembak," kata Syafii.

Syafii secara pribadi menilai rancangan tersebut perlu dievaluasi karena berpotensi terjadi salah tangkap dan melanggar HAM, seperti halnya yang terjadi pada kasus Siyono, terduga teroris yang meninggal setelah ditahan Densus 88 sebelum terbukti.

"Kami dari Gerindra meminta juga agar penahanan dikurangi jadi 7 hari," kata Syafii.

Pendapat Syafii ini selaras dengan laporan ICJR terkait RUU Terorisme yang menyatakan rancangan tersebut lemah secara hukum dan berpotensi maladministrasi. Pasalnya, praktik penangkapan model ini dapat mengarah pada incommunicado atau penahanan tanpa akses terhadap dunia luar yang rentan penyiksaan dan penghilangan.

teroris-2--mild--fuad.jpg


Sementara, Anggota Pansus F-PKS, Nasir Djamil menyatakan penolakan fraksinya pada pasal tersebut karena akan membuat penindakan tindak pidana terorisme akan keluar dari jalur hukum dan rawan digunakan rezim untuk melakukan kesewenangan.

"Yang semacam ini pernah dipraktikkan di Singapura dan Malaysia. Ya, kalau pemerintah memang maunya langsung tangkap dan tembak seperti Duterte, ya silakan. Kami masih mau menjunjung HAM," kata Nasir kepada Tirto.

Pada 2013, Human Rights Watch mempertanyakan keputusan Internal Security Act (ISA) Singapura karena memberikan kekuasaan aparat hukum untuk menangkap dan menahan terduga pelaku kejahatan tanpa batas waktu penahanan. Kekuasaan itu juga disertai penangkapan tanpa tuntutan dan koreksi hukum.

Artinya aparat pemerintah Singapura bisa menangkap siapapun yang diduga akan melakukan makar, spionase, dan terorisme tanpa alasan yang kuat. Pada September 2011, Kementerian Dalam Negeri Singapura mengatakan selama ancaman teror, spionasi, makar dan fundamentalisme rasial/agama tetap ada, maka ISA akan tetap diberlakukan.

https://tirto.id/poin-poin-krusial-yang-perlu-dicermati-dari-ruu-terorisme-cKpw
 
Not PDIP, tapi fekaes

No, you said the party who dominate Jawa Barat, the largest party in Jawa Barat is PDIP with 20 seats, followed by Golkar (17 seats), and there's no party named "fekaes" anywhere in Indonesia

And you are the one who spread hoax right now
 
No, you said the party who dominate Jawa Barat, the largest party in Jawa Barat is PDIP with 20 seats, followed by Golkar (17 seats), and there's no party named "fekaes" anywhere in Indonesia

And you are the one who spread hoax right now
The Governor is Ahmad Heryawan. He has been governor since 2008 and has been a PKS member since 1999.
That is not a hoax, and is a fact.
 
The Governor is Ahmad Heryawan. He has been governor since 2008 and has been a PKS member since 1999.
That is not a hoax, and is a fact.

So we're switching from party to people now BIG LOL
 
So we're switching from party to people now BIG LOL

I notice you cannot deny it. I'm glad you find it funny. Most people don't, especially right now.

Anyway, sorry for bringing up politics in the first place. My bad everyone.

Sementara, Anggota Pansus F-PKS, Nasir Djamil menyatakan penolakan fraksinya pada pasal tersebut karena akan membuat penindakan tindak pidana terorisme akan keluar dari jalur hukum dan rawan digunakan rezim untuk melakukan kesewenangan.

"Yang semacam ini pernah dipraktikkan di Singapura dan Malaysia. Ya, kalau pemerintah memang maunya langsung tangkap dan tembak seperti Duterte, ya silakan. Kami masih mau menjunjung HAM," kata Nasir kepada Tirto.

Pada 2013, Human Rights Watch mempertanyakan keputusan Internal Security Act (ISA) Singapura karena memberikan kekuasaan aparat hukum untuk menangkap dan menahan terduga pelaku kejahatan tanpa batas waktu penahanan. Kekuasaan itu juga disertai penangkapan tanpa tuntutan dan koreksi hukum.

Artinya aparat pemerintah Singapura bisa menangkap siapapun yang diduga akan melakukan makar, spionase, dan terorisme tanpa alasan yang kuat. Pada September 2011, Kementerian Dalam Negeri Singapura mengatakan selama ancaman teror, spionasi, makar dan fundamentalisme rasial/agama tetap ada, maka ISA akan tetap diberlakukan.

https://tirto.id/poin-poin-krusial-yang-perlu-dicermati-dari-ruu-terorisme-cKpw

I guess in the end, it is a choice people must make. I find it interesting how the guy basically tried to paint the laws in Malaysia and Singapore as the same type of laws that result in mass vigilante killings in Phillipines. Phillipines is what happens when the laws are so powerless people put matters in their own hands and elect a 'strongman'.

Yes, the laws in Malaysia and Singapore do result in problems with Human Rights, thats undeniable. You know what it also results in? No bombings. No innocent children being strapped with bombs, or for that matter, no children dying simply because they went to church. Safety.

I have a strong feeling that most Indonesians will be all to willing to pick security over human rights that will be raped by terrorism anyway. Especially since the gov can show that they requested a law amendment 2 years ago and that the deliberations got stuck in the legislative phase, most notably due to stalling by opposition parties.
 
FYI

Rancangan ini membuat UU Terorisme punya kedekatan dengan Internal Security Act (ISA) Singapura dan Malaysia yang memang dijadikan rujukan pemerintah Indonesia dalam merancang RUU Terorisme. Pasal 73 ayat 1 ISA Malaysia menyebutkan bahwa polisi bisa menahan seseorang selama 60 hari tanpa surat perintah dan bantuan hukum. Setelah 60 hari, Kementerian Dalam Negeri Malaysia bisa memperpanjang masa tahanan tanpa sidang sampai dengan dua tahun. Itu semua bisa dilakukan tanpa menyertakan bukti apa pun.

Pemerintah dan Densus 88, kata Ketua Pansus Syafii, berargumen rancangan pasal tersebut harus lolos agar penanganan terorisme bisa cepat dilakukan sejak dini. Sebab, jika menunggu cukup bukti seperti yang diatur dalam KUHAP, akan memakan waktu yang lama dan membuat jejaring teroris terus berkembang.

Menurut Syafii, poin krusial inilah yang menjadi bahan perdebatan yang alot di antara fraksi-fraksi di DPR. Pemerintah bersama beberapa fraksi DPR tetap ngotot rancangan tersebut lolos. Di sisi lain, beberapa fraksi menolak rancangan tersebut.

"Kalau dilihat pemerintah itu memang sudah terpengaruh kepentingan polisi. Mereka kan maunya langsung tangkap, tembak," kata Syafii.

Syafii secara pribadi menilai rancangan tersebut perlu dievaluasi karena berpotensi terjadi salah tangkap dan melanggar HAM, seperti halnya yang terjadi pada kasus Siyono, terduga teroris yang meninggal setelah ditahan Densus 88 sebelum terbukti.

"Kami dari Gerindra meminta juga agar penahanan dikurangi jadi 7 hari," kata Syafii.

Pendapat Syafii ini selaras dengan laporan ICJR terkait RUU Terorisme yang menyatakan rancangan tersebut lemah secara hukum dan berpotensi maladministrasi. Pasalnya, praktik penangkapan model ini dapat mengarah pada incommunicado atau penahanan tanpa akses terhadap dunia luar yang rentan penyiksaan dan penghilangan.

Sementara, Anggota Pansus F-PKS, Nasir Djamil menyatakan penolakan fraksinya pada pasal tersebut karena akan membuat penindakan tindak pidana terorisme akan keluar dari jalur hukum dan rawan digunakan rezim untuk melakukan kesewenangan.

"Yang semacam ini pernah dipraktikkan di Singapura dan Malaysia. Ya, kalau pemerintah memang maunya langsung tangkap dan tembak seperti Duterte, ya silakan. Kami masih mau menjunjung HAM," kata Nasir kepada Tirto.

Pada 2013, Human Rights Watch mempertanyakan keputusan Internal Security Act (ISA) Singapura karena memberikan kekuasaan aparat hukum untuk menangkap dan menahan terduga pelaku kejahatan tanpa batas waktu penahanan. Kekuasaan itu juga disertai penangkapan tanpa tuntutan dan koreksi hukum.

Artinya aparat pemerintah Singapura bisa menangkap siapapun yang diduga akan melakukan makar, spionase, dan terorisme tanpa alasan yang kuat. Pada September 2011, Kementerian Dalam Negeri Singapura mengatakan selama ancaman teror, spionasi, makar dan fundamentalisme rasial/agama tetap ada, maka ISA akan tetap diberlakukan.

https://tirto.id/poin-poin-krusial-yang-perlu-dicermati-dari-ruu-terorisme-cKpw

It's pretty clear who has been hampering the anti terrorism legislation progress all this time.
 
I notice you cannot deny it. I'm glad you find it funny. Most people don't, especially right now.

Anyway, sorry for bringing up politics in the first place. My bad everyone.

I guess in the end, it is a choice people must make. I find it interesting how the guy basically tried to paint the laws in Malaysia and Singapore as the same type of laws that result in mass vigilante killings in Phillipines. Phillipines is what happens when the laws are so powerless people put matters in their own hands and elect a 'strongman'.

Yes, the laws in Malaysia and Singapore do result in problems with Human Rights, thats undeniable. You know what it also results in? No bombings. No innocent children being strapped with bombs, or for that matter, no children dying simply because they went to church. Safety.

I have a strong feeling that most Indonesians will be all to willing to pick security over human rights that will be raped by terrorism anyway. Especially since the gov can show that they requested a law amendment 2 years ago and that the deliberations got stuck in the legislative phase, most notably due to stalling by opposition parties.

It's pretty clear who has been hampering the anti terrorism legislation progress all this time.

First of all, Logam, Ahmad Heryawan is from PKS, I don't know which part of your statement I should deny. Make it clear.

Second of all, to both of you, the opposition and the rest of the MP are trying their best so that the terrorism law still abide "Human Rights". That's what going the biggest different between us and that terrorist; that we respect human rights.

ISA law ignore human rights, it's been abused for years by the Malaysian government to suppress critics. We don't want that to happen in Indonesia, no one does.

We want our law enforcement to bring safety and security to the people not the opposite, not another form of terror by the law enforcement. It already happened during Soeharto era and it begin to happen again.

For example: I you check the social media there is recent video of an Islamic school student are forced to empty his bags under gunpoint just because he wear Islamic clothing? COME ON! Where are we? West Bank?

Goenawan Mohamad, supporter of Jokowi already voice his complaint about this. Is he support ISIS too? No, that's because he know that such act is counter productive.
 
Back
Top Bottom