SCI: Program Jembatan Udara Harus Melihat Kesesuaian Jenis Armada
Oleh : Ridwan | Rabu, 07 Maret 2018 - 15:05 WIB
Ilustrasi Pesawat Kargo
A A A
INDUSTRY.co.id -Jakarta, Sistem logistik berperan penting untuk peningkatan daya saing dan kesejahteraan, baik secara nasional maupun wilayah. Sistem logistik yang efisien terkendala masalah konektivitas di beberapa wilayah, termasuk Papua.
Pendistribusian yang terkendala kondisi geografis dan topografis berdampak terhadap tingkat ketersediaan dan disparitas harga barang kebutuhan pokok dan barang penting, serta bahan bakar minyak (BBM).
Jenis barang kebutuhan pokok terdiri dari hasil pertanian (beras, kedelai bahan baku tahu dan tempe, cabe, bawang merah), hasil industri (gula, minyak goreng, tepung terigu), dan barang kebutuhan pokok hasil peternakan dan perikanan (daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, ikan segar yaitu bandeng, kembung dan tongkol/tuna/cakalang).
Jenis barang penting terdiri dari benih (benih padi, jagung, dan kedelai), pupuk, gas elpiji 3 (tiga) kilogram, triplek, semen, besi baja konstruksi, dan baja ringan.
Supply Chain Indonesia (SCI) mengapresiasi upaya pemerintah dalam meningkatkan ketersediaan dan menurunkan disparitas harga terutama di Papua dengan Program Tol Laut dan Jembatan Udara.
"Kombinasi kedua program itu diharapkan menurunkan permasalahan tersebut, termasuk di wilayah-wilayah pedalaman karena banyak wilayah terpencil yang masih sulit dijangkau dengan transportasi darat atau sungai," ujar Chairman SCI, Setijadi melalui keterangan tertulisnya kepada INDUSTRY.co.id di Jakarta, Rabu (7/3/2018).
Ia menambahkan, masalah ketersediaan dan disparitas ini terjadi terutama bukan di wilayah pesisir yang dekat dengan pelabuhan, namun di pedalaman. Program Jembatan Udara pada tahun 2017 dilakukan dengan angkutan udara perintis kargo khusus yang melayani penerbangan dari ibu kota kabupaten ke wilayah distrik atau cakupan.
"Selain itu, dilakukan subsidi angkutan udara kargo yang merupakan angkutan udara khusus kargo dengan menggunakan pesawat berbadan besar sekelas Boeing 737 Freighter dan melayani penerbangan dari ibu kota kabupaten ke ibukota kabupaten lainnya," terangnya.
Menurutnya, pemilihan jenis pesawat tersebut terutama harus memperhatikan ketersediaan dan kondisi lapangan atau tempat pendaratan pesawat terbang. "Pertimbangan penting lainnya adalah harga beli, kapasitas angkut, jarak jelajah, dan biaya operasional," kata Setijadi.
Selain itu, lanjutnya, masalah perawatan dan ketersediaan suku cadang pesawat juga harus dipertimbangkan. Pemilihan jenis pesawat dapat mempertimbangkan tiga jenis pilihan pesawat angkut berat TNI AU, seperti yang diulas di indomiliter.com yaitu Il-476 Ilyushin, A400M-Atlas, dan C130J-30 Hercules.
Menurut situs tersebut, pesawat Il-476-Ilyushin berdaya angkut 60 ton dengan jarak jelajah 5.000 km, A400M-Atlas berdaya angkut 37 ton dengan jarak jelajah 4.500 km,dan C-130J-30 Hercules berdaya angkut 18 ton dengan jarak jelajah 5.250 km.
"Untuk wilayah terpencil yang tidak tersedia lapangan terbang atau pendaratan, bisa digunakan helikopter angkut berat dengan kapasitas angkut dan ruang kargo sekelas Hercules C-130," tuturnya.