Chakra, Proyek Akuisisi Jet Siluman F-35 oleh Indonesia
Category
Air ForcePosted on
Agustus 24, 2019Author
Rahakundini Bakrie15 Comments
AIRSPACE-REVIEW.com – Visi Poros Maritim Dunia Presiden Joko Widodo adalah sebuah doktrin baru bagi pertahanan Indonesia di mana kita harus memiliki Superioritas Udara (
Air Superiority) sebagai
Maritime Iron Umbrella lautan kita,
Blue Water Navy untuk keunggulan laut, dan
Land Superiority untuk bisa ditempatkan kapan saja dan di mana saja ke luar wilayah.
Hal ini membutuhkan gagasan baru, namun harus realistis dengan berbagai inovasi cerdas untuk menembus berbagai kendala.
Dalam memenuhi peran sebagai
Maritime Iron Umbrella diperlukan teknologi terkini guna menjamin superioritas udara dan
unfair advantage.
Dalam sejarahnya, Indonesia memiliki kecenderungan menggunakan armada tempur terkini buatan Amerika Serikat (AS) selepas pembelian besar-besaran pesawat dan alutsista Rusia di era 1960-an.
Pesawat F-5E/F
Tiger, A-4
Skyhawk eks Israel, hingga F-16A/B
Fighting Falcon merupakan contoh alutsista buatan AS yang dibeli semasa era Presiden Soeharto.
Memang ini sempat terhalang dengan isu Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu dan itu sudah lewat.
Kita kemudian sempat beralih kepada sekutu kita yaitu Rusia dengan membeli pesawat tempur Sukhoi Su-27/30 pada 2003 dan saat ini dilanjutkan dengan pembelian Su-35.
USAF
Meski demikian, bila dibandingkan filosofi teknikal dan logistiknya berbeda dengan buatan Amerika Serikat. Buatan Amerika terkenal dengan keandalannya, mudah dirawat, dan ketersediaan
spare parts yang mudah didapat.
F-16 seperti halnya F/A-18
series contohnya, disebut sebagai pesawat “Sejuta Umat” dengan komunitas pengguna yang luas dan suku cadang yang berlimpah.
Saya berpikir, kita ada baiknya melanjutkan tradisi ini, namun dengan
twist yang lebih
advanced lagi. Yaitu, kita membeli F-35
Lightning II buatan Lockheed Martin, AS yang kita sambung dengan paket produksi lokal F-16 seri terbaru.
Atau opsi berikutnya adalah, F-35 bisa kita kombinasikan dengan akses kita pada teknologi yang diberikan dalam Program KF-X/IF-X antara Korea Selatan dan Indonesia. Seperti diketahui, hal ini juga dilakukan pihak Korea Selatan dengan pembelian F-35 mereka.
Keunggulan
USAF
Secara taktis F-35
Lightning II adalah pesawat DAY ONE, artinya pesawat yang digunakan untuk menembus pertahanan lawan dalam sebuah gerak ofensif secara kasat radar (dengan senjata disembunyikan di dalam perutnya).
Hal ini sangat berguna untuk menghantam
Central of Gravity musuh hingga menetralkan kekuatan udara lawan dan melumpuhkan banyak hal yang membuat serangan berikutnya lebih mudah.
Kemudian, setelah DAY ONE dikuasai, pesawat F-16 dan Su-35 dapat melanjutkan penyerangan dengan lebih mudah. Tentunya F-35 bisa kembali menjadi
spearhead dalam kampanye udara ini.
Memang, sempat ada satu
testing di mana F-35 dipecundangi oleh F-16 dan menjadi lahan
bully di media. Namun konteksnya saat itu, F-35 belum dicat dan menggunakan fitur silumannya.
Kemudian percobaan berikutnya, F-35 memperlihatkan kegarangan aslinya. Selain siluman (lebih tepatnya
Low Observable) juga dengan mempunyai 360 derajat
awareness-nya, pilot F-35 bisa melihat pesawat musuh dari helm muktahirnya sehingga lebih unggul dari pesawat lawan.
Hal berikutnya, adalah masalah logistik dan perawatan. Seperti semua jenis pesawat buatan Barat, terutama AS, menggunakan prinsip
economical mass atau massal ekonomis. Produksi sebanyak mungkin sehingga harga akan menjadi lebih murah.
F-35 termasuk di dalam filosofi tersebut. Dengan sembilan negara partisipan produksi, suku cadang akan berlimpah dan memudahkan rantai logistiknya.
Untuk perawatan demikian juga, semudah merawat F-16
series yang sudah kita miliki.
Brandon Owen
Secara teknologi F-35 akan menambah penguasaan teknologi perang pada pilot dan tim pendukung TNI AU serta industri nasional baik BUMN maupun swasta yang ingin berpartisipasi.
Dalam kepentingan nasional, teknologi siluman dibutuhkan jika ingin menjadi yang terbaik. Bukan
mediocre dalam pertahanan kita. Ini sekaligus kritik saya pada ToT (
Transfer of Technology) yang merupakan
wishfull thinking.
Tentu kita bisa melakukan riset mandiri yang akan sangat lama dan jauh lebih mahal dalam mengembangkan teknologi siluman. Atau, membeli teknologi tersebut dan meminta menjadi bagian dari rantai suplainya (seperti telah kita lakukan saat pembelian F-16 terdahulu).
Kemudian dalam konteks ini, sebagai
deal feature juga memproduksi pesawat Generasi 4++ seperti F-21 atau F-16
Viper. Atau, membantu IF-X yang kita tidak mendapatkan akses teknologi dari sisi Korea Selatan (yang dibantu oleh Lockheed Martin).
Kendala
Lockheed Martin
Pesawat F-35 adalah yang paling mahal dibanding pesawat lainnya, karena memang ini pesawat generasi ke-5 bukan lagi generasi ke-4++. Apalagi jika kita memilih varian F35B dengan kemampuan STOVL (terbang dan mendarat secara vertikal).
Masalah APBN tentunya akan terbebani. Meskipun demikian, dengan sistem manajemen tertentu, penerimaan pajak dari industri yang terlibat bisa saja dimungkinkan.
Tentunya kita juga bisa melakukan imbal dagang, seperti menggunakan komoditi yang Indonesia hasilkan. Sehingga, semahal apapun kita membeli, bisa diimbangi dengan ekspor.
Seperti Thailand dulu membayar pesawat produk IPTN (PT Dirgantara Indonesia kini) dengan beras ketan atau Malaysia yang membeli pesawat buatan BAE Systems dari Inggris dengan kelapa sawitnya.
Namun yang pasti, ini adalah tantangan yang harus dikembangkan model manajemen solusinya.
Kesiapan industri adalah kendala berikutnya. Mengandalkan BUMN tentu saja dimungkinkan, namun seperti yang kita ketahui kapasitasnya sangat terbatas seperti halnya PTDI.
Namun, ini pun tentunya tantangan. Ada beberapa model seperti Konsorsium BUMN atau memperbaiki PTDI dan menarik dana masyarakat melalui IPO.
Gagasan lainnya atau kombinasinya, yaitu dengan menarik swasta nasional dalam program ini. Tentunya dengan proyeksi keuntungan yang jelas bagi semua pihak.
Dispen Kormar
Mengejar penguasaan dan produksi teknologi militer, akan menghasilkan
spin off pada industri sipil dengan implikasi bisnis yang biasanya tinggi. Seperti GPS militer, ternyata mampu melahirkan varian produk turunan yang memanfaatkan GPS dan ujungnya memberikan pajak pada negara.
Kendala berikutnya adalah embargo terutama pihak Amerika Serikat. Kita pernah trauma pada embargo AS pada semua pesawat militer produknya karena kasus pelanggaran HAM Timor Timur.
Namun perlu diingat, kita juga pernah merasakan embargo Uni Soviet pada kasus yang sama yaitu pelanggaran HAM genosida pengikut PKI. Keduanya menghasilkan kelumpuhan bagi TNI AU dalam melakukan operasi.
Ketakutan akan embargo, sebenarnya sederhana saja. Selama kita tidak melanggar kaidah universal seperti pelanggaran HAM dan melakukan politik yang ekspansionis, sebenarnya hal ini tidak perlu di khawatirkan.
Politik Luar Negeri Indonesia, saya percaya akan mengaturnya dengan baik. Indonesia dulu lahir dengan keterampilan dan ketangguhan diplomasi untuk kepentingan nasional. Sekarang kita harus lebih baik lagi dari masa lalu.
Versi Indonesia
Roni Sontani
Varian F-35 yang sesuai untuk Indonesia adalah F35B STOVL menggunakan
TurboLift System. Karena geografis Indonesia yang memiliki banyak pulau, yang artinya banyak “kapal induk” pangkalan yang secara alamiah memperkuat kemampuan tempur secara strategis. Kita bisa muncul di mana saja meskipun tanpa landasan yang mudah dipantau dari pengamatan udara.
Namun ada juga pertimbangan bahwa yang paling cocok adalah F-35A, varian konvensional tanpa
TurboLift system. Ini lebih murah mengingat landasan pesawat di pangkalan militer Indonesia maupun bandara-bandara besar sudah banyak yang mumpuni dalam standar NATO.
Sehingga, dengan membeli varian F-35A bisa menghemat anggaran yang signifikan dan juga memiliki jarak jangkau yang lebih luas karena tidak terbebani
TurboLift System yang tidak terpakai saat
cruise mode terbangnya.
USAF
Namun tentunya, sekali lagi, semua gagasan ini membutuhkan pertimbangan yang sangat dalam. Yaitu, dengan mempertimbangkan sebanyak mungkin aspek serta desain kebijakan terbaik yang menguntungkan negeri ini sebelum menjadi sebuah keputusan politik.
Dengan doa, berpikir, dan bekerja keras,
Chakra yang saya sebut sebagai sandi Proyek Akuisisi Jet Siluman F-35 oleh Indonesia dapat kita wujudkan.
Dr. Connie Rahakundini Bakrie
https://www.airspace-review.com/2019/08/24/chakra-proyek-akuisisi-jet-siluman-f-35-oleh-indonesia/