What's new

Indonesia Defence Forum

I've read somewhere a rumour that all 61 Leopard 2 RI were actually twice upgraded Leopard 2A3 from Bundeswehr stock; 1st upgraded to 2A4 next Revolution series meanwhile 40 Leopard 2A4+ we have were actually Swiss Army Pzr87.

:eek:
 
Habibie, Menhankam dan Tank Korea
Berbeda pandangan politik namun demi kepentingan negara tetap obyektif
Oleh: Hendi Johari
87071393901723053668.large

Tank K200 KIFV buatan Korea Selatan yang menjadi pilihan Habibie dan Edi Sudradjat (militarytoday.com)


SUATU hari di tahun 1995, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) B.J. Habibie mengajak Letnan Jenderal (Purn) Sintong Panjaitan berdiskusi. Dia mengeluhkan soal seringnya Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) Edi Sudradjat absen dalam berbagai rapat mengenai “sistem senjata Hankam” yang dipimpinnya.

“Padahal ada yang ingin sekali saya diskusikan dengan Pak Edi mengenai rencana pembelian tank buat ABRI,” ujar Habibie kepada staf ahli Menristek itu.

Sebagai orang yang merasa dekat dengan kedua lelaki yang secara politik bersebrangan itu, beberapa hari kemudian Sintong berinsiatif menemui Edi yang tak lain adalah seniornya di ABRI tersebut. Dia mendatangi Kantor Departemen Hankam dan menyatakan kekecewaan dirinya secara langsung kepada Menhankam.

“Kenapa sih Mas, selalu tidak hadir dalam rapat itu?” tanya Sintong.

Edi langsung menukas,” Maksudnya apa kau, ngomong begitu?”

“Mas, kita ini kan tentara. Yang memerintahkan soal itu kan Pak Harto, Panglima Tertinggi. Apa kata orang jika Mas “membangkang” perintah Panglima Tertinggi? Saya rasa itu tidak benar. Boleh tidak menyukai seseorang, tetapi sebagai bawahan Panglima Tertinggi kita harus ikut garis komando. Datanglah ke rapat itu nanti, Mas. Kalau tidak, enggak enaklah nanti sama Pak Harto,” ungkap Sintong.

Menhankam tidak bereaksi. Wajahnya datar saja. Lama sekali mereka saling berdiam diri, hingga akhirnya Sintong merasa tidak enak hati lalu pamit dan kembali ke kantor. Namun baru saja dia sampai di ruangannya, tetiba ada telepon untuk dirinya. Siapa lagi kalau bukan dari Menhankam Edi Sudradjat.

“Ya sudahlah Tong, kau yang atur supaya saya langsung bertemu Habibie. Saya tidak mau menunggu lama,” katanya.

Edi menegaskan “tidak mau menunggu lama” karena saat itu semua orang sudah pada mafum jika ingin menemui Habibie maka seseorang harus ekstra sabar. Bisa jadi itu disebabkan oleh begitu banyaknya tamu yang datang ke Habibie setiap harinya.

Selesai bicara dengan Edi, Sintong langsung bergegas menuju ruangan Habibie. Ia menceritakan perihal pertemuan itu. Sintong menyarankan Habibie agar langsung menjemput Edi begitu dia tiba di kantor Kemenristek. Tanpa banyak pertimbangan, Habibie langsung menyanggupi.

Singkat cerita, bertemulah kedua “seteru politik” itu dalam suasana yang ramah dan akrab. Ketika rapat berlangsung, Habibie membahas masalah rencana pembelian beberapa unit tank. Pilihannya ada tiga: K200 KIPV (Korean Infantry Fighting Vehicle) buatan Korea Selatan sesuai permohonan yang diajukan oleh Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung kepada Presiden Soeharto pada 25 Januari 1995 atau tank jenis FV 101 Scorpion dan FV 103 Stormer buatan Inggris.

Secara kualitas dan harga, Habibie menyatakan setuju dengan pilihan ABRI itu. Selain harganya murah (3 KIFV=1 Scorpion), KIFV sudah teruji di berbagai medan dan lebih sesuai dengan situasi di alam Indonesia. Persoalannya, pemegang tender proyek tersebut yakni Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut (putri sulung Presiden Soeharto) dan Jenderal Hartono lebih cenderung memilih Scorpion dan Stormer.

Edi mendukung keinginan Habibie. Terlebih setelah Habibie memberikan uraian tentang keunggulan dan kelemahan dua jenis tank itu, Edi semakin mantap untuk memilih KIFV sebagai tank yang akan dipergunakan ABRI.

“Pak Edi dan Pak Habibie itu sebetulnya sama-sama orang yang lebih mengutamakan kepentingan negara. Jadi ya keduanya bisa kompak kalau terkait soal itu,” ujar Sintong Panjaitan.

Sejarah mencatat, pilihan keduanya kandas. Tanpa sepengetahuan Menhankam, Scorpion dan Stormer terlanjur dibeli. Padahal menurut Sintong, Korea Selatan sudah berniat untuk membeli lagi pesawat CN-235-200 lewat cara imbal beli dengan peralatan militer dari Korea Selatan.

“Tetapi karena kita sudah membeli 50 tank Scorpion dan Stormer dari Inggris, maka Indonesia tidak jadi membeli tank dan ranpur dari Korea Selatan,” ujar Sintong dalam biografinya yang ditulis Hendro Subroto, Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando.

Menurut Sintong, pilihan Habibie dan Edi sebenarnya sudah tepat. Andaikan Indonesia jadi membeli K200 KIFV (berharga di bawah 1 juta dollar AS) dan tidak menggunakan FV 101 Scorpion dan FV 103 Stormer (berharga 2,5 juta dollar AS), maka ABRI akan memiliki 150 tank dan ranpur atau setengah dari kebutuhan Angkatan Darat.

“Jadinya kita hanya dapat 50 tank buatan Inggris,” ujar Sintong.
 
Habibie, Menhankam dan Tank Korea
Berbeda pandangan politik namun demi kepentingan negara tetap obyektif
Oleh: Hendi Johari
87071393901723053668.large

Tank K200 KIFV buatan Korea Selatan yang menjadi pilihan Habibie dan Edi Sudradjat (militarytoday.com)


SUATU hari di tahun 1995, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) B.J. Habibie mengajak Letnan Jenderal (Purn) Sintong Panjaitan berdiskusi. Dia mengeluhkan soal seringnya Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) Edi Sudradjat absen dalam berbagai rapat mengenai “sistem senjata Hankam” yang dipimpinnya.

“Padahal ada yang ingin sekali saya diskusikan dengan Pak Edi mengenai rencana pembelian tank buat ABRI,” ujar Habibie kepada staf ahli Menristek itu.

Sebagai orang yang merasa dekat dengan kedua lelaki yang secara politik bersebrangan itu, beberapa hari kemudian Sintong berinsiatif menemui Edi yang tak lain adalah seniornya di ABRI tersebut. Dia mendatangi Kantor Departemen Hankam dan menyatakan kekecewaan dirinya secara langsung kepada Menhankam.

“Kenapa sih Mas, selalu tidak hadir dalam rapat itu?” tanya Sintong.

Edi langsung menukas,” Maksudnya apa kau, ngomong begitu?”

“Mas, kita ini kan tentara. Yang memerintahkan soal itu kan Pak Harto, Panglima Tertinggi. Apa kata orang jika Mas “membangkang” perintah Panglima Tertinggi? Saya rasa itu tidak benar. Boleh tidak menyukai seseorang, tetapi sebagai bawahan Panglima Tertinggi kita harus ikut garis komando. Datanglah ke rapat itu nanti, Mas. Kalau tidak, enggak enaklah nanti sama Pak Harto,” ungkap Sintong.

Menhankam tidak bereaksi. Wajahnya datar saja. Lama sekali mereka saling berdiam diri, hingga akhirnya Sintong merasa tidak enak hati lalu pamit dan kembali ke kantor. Namun baru saja dia sampai di ruangannya, tetiba ada telepon untuk dirinya. Siapa lagi kalau bukan dari Menhankam Edi Sudradjat.

“Ya sudahlah Tong, kau yang atur supaya saya langsung bertemu Habibie. Saya tidak mau menunggu lama,” katanya.

Edi menegaskan “tidak mau menunggu lama” karena saat itu semua orang sudah pada mafum jika ingin menemui Habibie maka seseorang harus ekstra sabar. Bisa jadi itu disebabkan oleh begitu banyaknya tamu yang datang ke Habibie setiap harinya.

Selesai bicara dengan Edi, Sintong langsung bergegas menuju ruangan Habibie. Ia menceritakan perihal pertemuan itu. Sintong menyarankan Habibie agar langsung menjemput Edi begitu dia tiba di kantor Kemenristek. Tanpa banyak pertimbangan, Habibie langsung menyanggupi.

Singkat cerita, bertemulah kedua “seteru politik” itu dalam suasana yang ramah dan akrab. Ketika rapat berlangsung, Habibie membahas masalah rencana pembelian beberapa unit tank. Pilihannya ada tiga: K200 KIPV (Korean Infantry Fighting Vehicle) buatan Korea Selatan sesuai permohonan yang diajukan oleh Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung kepada Presiden Soeharto pada 25 Januari 1995 atau tank jenis FV 101 Scorpion dan FV 103 Stormer buatan Inggris.

Secara kualitas dan harga, Habibie menyatakan setuju dengan pilihan ABRI itu. Selain harganya murah (3 KIFV=1 Scorpion), KIFV sudah teruji di berbagai medan dan lebih sesuai dengan situasi di alam Indonesia. Persoalannya, pemegang tender proyek tersebut yakni Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut (putri sulung Presiden Soeharto) dan Jenderal Hartono lebih cenderung memilih Scorpion dan Stormer.

Edi mendukung keinginan Habibie. Terlebih setelah Habibie memberikan uraian tentang keunggulan dan kelemahan dua jenis tank itu, Edi semakin mantap untuk memilih KIFV sebagai tank yang akan dipergunakan ABRI.

“Pak Edi dan Pak Habibie itu sebetulnya sama-sama orang yang lebih mengutamakan kepentingan negara. Jadi ya keduanya bisa kompak kalau terkait soal itu,” ujar Sintong Panjaitan.

Sejarah mencatat, pilihan keduanya kandas. Tanpa sepengetahuan Menhankam, Scorpion dan Stormer terlanjur dibeli. Padahal menurut Sintong, Korea Selatan sudah berniat untuk membeli lagi pesawat CN-235-200 lewat cara imbal beli dengan peralatan militer dari Korea Selatan.

“Tetapi karena kita sudah membeli 50 tank Scorpion dan Stormer dari Inggris, maka Indonesia tidak jadi membeli tank dan ranpur dari Korea Selatan,” ujar Sintong dalam biografinya yang ditulis Hendro Subroto, Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando.

Menurut Sintong, pilihan Habibie dan Edi sebenarnya sudah tepat. Andaikan Indonesia jadi membeli K200 KIFV (berharga di bawah 1 juta dollar AS) dan tidak menggunakan FV 101 Scorpion dan FV 103 Stormer (berharga 2,5 juta dollar AS), maka ABRI akan memiliki 150 tank dan ranpur atau setengah dari kebutuhan Angkatan Darat.

“Jadinya kita hanya dapat 50 tank buatan Inggris,” ujar Sintong.

Fark Tutut, KIFV is amphibious and got more protection compared to Skorpion, and less political attachment
 
When? Is that in rimpac? I don't remember nanggala doing joint exercise with iss Oklahoma
Somewhere in Java Sea, 5 years ago

Habibie, Menhankam dan Tank Korea
Berbeda pandangan politik namun demi kepentingan negara tetap obyektif
Oleh: Hendi Johari
87071393901723053668.large

Tank K200 KIFV buatan Korea Selatan yang menjadi pilihan Habibie dan Edi Sudradjat (militarytoday.com)


SUATU hari di tahun 1995, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) B.J. Habibie mengajak Letnan Jenderal (Purn) Sintong Panjaitan berdiskusi. Dia mengeluhkan soal seringnya Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) Edi Sudradjat absen dalam berbagai rapat mengenai “sistem senjata Hankam” yang dipimpinnya.

“Padahal ada yang ingin sekali saya diskusikan dengan Pak Edi mengenai rencana pembelian tank buat ABRI,” ujar Habibie kepada staf ahli Menristek itu.

Sebagai orang yang merasa dekat dengan kedua lelaki yang secara politik bersebrangan itu, beberapa hari kemudian Sintong berinsiatif menemui Edi yang tak lain adalah seniornya di ABRI tersebut. Dia mendatangi Kantor Departemen Hankam dan menyatakan kekecewaan dirinya secara langsung kepada Menhankam.

“Kenapa sih Mas, selalu tidak hadir dalam rapat itu?” tanya Sintong.

Edi langsung menukas,” Maksudnya apa kau, ngomong begitu?”

“Mas, kita ini kan tentara. Yang memerintahkan soal itu kan Pak Harto, Panglima Tertinggi. Apa kata orang jika Mas “membangkang” perintah Panglima Tertinggi? Saya rasa itu tidak benar. Boleh tidak menyukai seseorang, tetapi sebagai bawahan Panglima Tertinggi kita harus ikut garis komando. Datanglah ke rapat itu nanti, Mas. Kalau tidak, enggak enaklah nanti sama Pak Harto,” ungkap Sintong.

Menhankam tidak bereaksi. Wajahnya datar saja. Lama sekali mereka saling berdiam diri, hingga akhirnya Sintong merasa tidak enak hati lalu pamit dan kembali ke kantor. Namun baru saja dia sampai di ruangannya, tetiba ada telepon untuk dirinya. Siapa lagi kalau bukan dari Menhankam Edi Sudradjat.

“Ya sudahlah Tong, kau yang atur supaya saya langsung bertemu Habibie. Saya tidak mau menunggu lama,” katanya.

Edi menegaskan “tidak mau menunggu lama” karena saat itu semua orang sudah pada mafum jika ingin menemui Habibie maka seseorang harus ekstra sabar. Bisa jadi itu disebabkan oleh begitu banyaknya tamu yang datang ke Habibie setiap harinya.

Selesai bicara dengan Edi, Sintong langsung bergegas menuju ruangan Habibie. Ia menceritakan perihal pertemuan itu. Sintong menyarankan Habibie agar langsung menjemput Edi begitu dia tiba di kantor Kemenristek. Tanpa banyak pertimbangan, Habibie langsung menyanggupi.

Singkat cerita, bertemulah kedua “seteru politik” itu dalam suasana yang ramah dan akrab. Ketika rapat berlangsung, Habibie membahas masalah rencana pembelian beberapa unit tank. Pilihannya ada tiga: K200 KIPV (Korean Infantry Fighting Vehicle) buatan Korea Selatan sesuai permohonan yang diajukan oleh Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung kepada Presiden Soeharto pada 25 Januari 1995 atau tank jenis FV 101 Scorpion dan FV 103 Stormer buatan Inggris.

Secara kualitas dan harga, Habibie menyatakan setuju dengan pilihan ABRI itu. Selain harganya murah (3 KIFV=1 Scorpion), KIFV sudah teruji di berbagai medan dan lebih sesuai dengan situasi di alam Indonesia. Persoalannya, pemegang tender proyek tersebut yakni Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut (putri sulung Presiden Soeharto) dan Jenderal Hartono lebih cenderung memilih Scorpion dan Stormer.

Edi mendukung keinginan Habibie. Terlebih setelah Habibie memberikan uraian tentang keunggulan dan kelemahan dua jenis tank itu, Edi semakin mantap untuk memilih KIFV sebagai tank yang akan dipergunakan ABRI.

“Pak Edi dan Pak Habibie itu sebetulnya sama-sama orang yang lebih mengutamakan kepentingan negara. Jadi ya keduanya bisa kompak kalau terkait soal itu,” ujar Sintong Panjaitan.

Sejarah mencatat, pilihan keduanya kandas. Tanpa sepengetahuan Menhankam, Scorpion dan Stormer terlanjur dibeli. Padahal menurut Sintong, Korea Selatan sudah berniat untuk membeli lagi pesawat CN-235-200 lewat cara imbal beli dengan peralatan militer dari Korea Selatan.

“Tetapi karena kita sudah membeli 50 tank Scorpion dan Stormer dari Inggris, maka Indonesia tidak jadi membeli tank dan ranpur dari Korea Selatan,” ujar Sintong dalam biografinya yang ditulis Hendro Subroto, Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando.

Menurut Sintong, pilihan Habibie dan Edi sebenarnya sudah tepat. Andaikan Indonesia jadi membeli K200 KIFV (berharga di bawah 1 juta dollar AS) dan tidak menggunakan FV 101 Scorpion dan FV 103 Stormer (berharga 2,5 juta dollar AS), maka ABRI akan memiliki 150 tank dan ranpur atau setengah dari kebutuhan Angkatan Darat.

“Jadinya kita hanya dapat 50 tank buatan Inggris,” ujar Sintong.
FB_IMG_15633782937933758.jpg
FB_IMG_15633782971950386.jpg
FB_IMG_15633783006422245.jpg
FB_IMG_15633783050174286.jpg
FB_IMG_15633783090277752.jpg

I'm going to repost this. The price for Scorpion IFV has been marked up to 2.5 Millions US$ each compared to price in market ( 800,000 US$ ) or Singaporean ( 1 Million US$ )
 
Somewhere in Java Sea, 5 years ago


View attachment 582337 View attachment 582338 View attachment 582339 View attachment 582341 View attachment 582342
I'm going to repost this. The price for Scorpion IFV has been marked up to 2.5 Millions US$ each compared to price in market ( 800,000 US$ ) or Singaporean ( 1 Million US$ )

At the time Indonesia arms procurement more look like Malaysia today, always full of holes and quite prone to Corrupt acts. Not to say today procurement is Not probe for such acts, but the Intensity and scale is Not as large as in the past
 
At the time Indonesia arms procurement more look like Malaysia today, always full of holes and quite prone to Corrupt acts. Not to say today procurement is Not probe for such acts, but the Intensity and scale is Not as large as in the past
and the auditing performance is even more better now , can be seen from the recent case about discovery and arrest of PT DI employee smuggler syndicate
 
At the time Indonesia arms procurement more look like Malaysia today, always full of holes and quite prone to Corrupt acts. Not to say today procurement is Not probe for such acts, but the Intensity and scale is Not as large as in the past
Not that people care enough and will demo about it anyway.
 
If you dont get money, at least being active to find defense excess article, being a cavalry battalion should Be standarized into large cannon armed units. YONKAV 10, BTR 40 and ANOA 2 what is the differences between them with Mechanized infantry in which armed themselves with M113 equipped with Browning HMG and 40 mm automatic grenade launcher

71317221_2190765124365152_6333284201164439552_o.jpg
71209422_2190765027698495_9169033296036757504_o.jpg
71271735_2190764997698498_5677627464558313472_o.jpg
69673144_2190765017698496_8971467231372247040_o.jpg
 
Fark Tutut, KIFV is amphibious and got more protection compared to Skorpion, and less political attachment

Also can uses by marine
Btw as i remember kifv have some problem in amphibious capability

Btw what engine kaplan used? German? Or Austria? Or Turkish engine?
I search always said only diesel engine

Sekilas kifv mirip acv19 malay dan trrnyata keduanya dipakai malaysia
Maybe turkish learn from their korean brother. Like altay firtina etc
 
Also can uses by marine
Btw as i remember kifv have some problem in amphibious capability

Btw what engine kaplan used? German? Or Austria? Or Turkish engine?
I search always said only diesel engine

Sekilas kifv mirip acv19 malay dan trrnyata keduanya dipakai malaysia
Maybe turkish learn from their korean brother. Like altay firtina etc
caterpillar C13
DtvFKdJWsAA8nOP.jpg
 
If you dont get money, at least being active to find defense excess article, being a cavalry battalion should Be standarized into large cannon armed units. YONKAV 10, BTR 40 and ANOA 2 what is the differences between them with Mechanized infantry in which armed themselves with M113 equipped with Browning HMG and 40 mm automatic grenade launcher

View attachment 582346 View attachment 582347 View attachment 582348 View attachment 582349
agree with this , atleast they need an proper standarized mass produced FSV (fire support vehicle) for all yonkav , like the brazilian ee-9 cascavel , or the french EBRC Jaguar
Cascaveis-1024x640.jpg

cascavel.jpg

EBRC-Jaguar.jpg
 
agree with this , atleast they need an proper standarized mass produced FSV (fire support vehicle) for all yonkav , like the brazilian ee-9 cascavel , or the french EBRC Jaguar
Cascaveis-1024x640.jpg

cascavel.jpg

EBRC-Jaguar.jpg
We have pandur fsv for that, maybemass produced in another 5 years???
 
Somewhere in Java Sea, 5 years ago


View attachment 582337 View attachment 582338 View attachment 582339 View attachment 582341 View attachment 582342
I'm going to repost this. The price for Scorpion IFV has been marked up to 2.5 Millions US$ each compared to price in market ( 800,000 US$ ) or Singaporean ( 1 Million US$ )
At the time Indonesia arms procurement more look like Malaysia today, always full of holes and quite prone to Corrupt acts. Not to say today procurement is Not probe for such acts, but the Intensity and scale is Not as large as in the past
But sometime those company also bertindak licik dengan cari kesempatan relasi sama anak2 pejabat, kadang mereka suka bilang pemerintahan korup, lah dia juga yg nyogok
 
Back
Top Bottom