What's new

Indonesia Defence Forum

Krisdayadi will coming back home soon :D ?

She must been realized Anang got more dough nowadays compared to her current husband

Versi dan Pengembangan LAPAN XT-400

Versi dan pengembangan dari pesawat komuter tujuh penumpang, XT-400 buatan LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) telah terpikirkan sejak awal didesain, baik untuk kebutuhan operator sipil maupun militer.

Melanjutkan tulisan sebelumnya tentang XT-400, pesawat yang dijuluki Oplet Terbang oleh pimpinan LAPAN, Jacob Salatun ini berikutnya dikembangkan menjadi 11 penumpang dengan memperpanjang badan dan memasang mesin lebih bertenaga 325 tk (sebelumnya 250 tk). Hal ini merupakan pertimbangan sisi ekonomis bahwa dengan kapasitas tujuh penumpang saja, maskapai penerbangan atau operator sipil penggunanya hanya mendapatkan penghasilan impas.

xt-400-version1.jpg

XT-400 versi awal dapat mengangkut tujuh penumpang+50 kg bagasi, diperpanjang badannya menjadi versi 11 penumpang.

Selain untuk mengangkut penumpang dan melayani rute kota kecil ke kota besar (feederline) dan penerbangan perintis, XT-400 dapat digunakan sebagai ambulan terbang, survei udara, dan angkut kargo murni. Semua itu dapat dilakukan dengan melepas dan mengkonfigurasi ulang tempat duduk sesuai dengan kebutuhan dan tugas.

xt-400-version-civil.jpg

Dari atas ke bawah, empat versi sipil XT-400 : angkut penumpang, ambulan udara, survei udara, dan angkut barang/kargo.

Untuk operator militer, XT-400 akan ditawarkan kepada TNI-AU (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara), TNI-AD (Angkatan Darat), dan TNI-AL (Angkatan Laut). Fungsi utamanya sebagai pesawat angkut ringan. Dengan mengubah atau melepas tempat duduk, XT-400 dapat difungsikan untuk tugas penerjunan pasukan dengan membawa tujuh prajurit yang diterjunkan lewat pintu samping belakang pesawat dan tugas dukungan pasukan darat serta COIN (COunter-INsurgency/anti gerilya), dipersenjatai dengan senapan mesin di pintu samping yang dilepas atau dari pintu belakang.

xt-400-version-military.jpg

Dari atas ke bawah, empat versi militer XT-400 : penerjunan pasukan, anti gerilya, pesawat komando dan penghubung, dan perang psikologis.

XT-400 dapat digunakan sebagai pesawat komando dan penghubung untuk operasi militer anti gerilya, dan tugas perang psikologi dengan memasang pengeras suara dan menyebar pamflet. Untuk versi badan lebih panjang berkapasitas 11 penumpang dan membawa lebih banyak bahan bakar, XT-400 dapat digunakan untuk tugas pengintai taktis dan patroli maritim.

Berkat teknologi mesin yang semakin bertenaga dan andal, maka pada tahun 1990-an hadir pesawat komuter berkapasitas 7-14 penumpang dengan mesin tunggal. Beberapa tipe pesawat tersebut adalah Gavilán 358 asal Brasil, GippsAero GA8 asal Australia, dan Cessna Caravan asal Amerika Serikat. Walaupun awalnya sempat diragukan terutama soal keamanan terbang—anggapan umum menyebut lebih banyak mesin maka lebih aman—tapi akhirnya banyak operator yang menggunakannya karena lebih murah harganya daripada pesawat komuter bermesin ganda, lebih hemat biaya perawatan mesin dan konsumsi bahan bakar.

xt-800-universitas-suryadarma.jpg

XT-800, XT-400 bermesin tunggal (atas) dan pandangan tiga sisi XT-800 (bawah), dirancang pada tahun 2008 oleh Suharto dan tim dari Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma.

Oleh karena itulah Suharto mendesain XT-800 sebagai versi mesin tunggal dari XT-400 pada tahun 2008. Tidak terlalu banyak perubahan dalam rancangannya, kecuali pada mesinnya yang hanya satu dan roda pendarat utamanya lebih konvensional, tidak ditempatkan pada sponson (stub wing). Selain itu pintu belakang di bawah ekor ditiadakan, diganti pintu belakang samping kiri berukuran lebih besar.(Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)
 
LAPAN XT-400, “Kakak Tiri” N219 yang Terlupakan

Sebelum muncul N219, LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) sebenarnya telah menghasilkan pesawat berkategori komuter bernama XT (eXperimental Transport)-400. Proyek ini terlupakan karena digagalkan sebelum lahir akibat egoisme sentralistik, sekaligus sebagai bukti nyata carut marut dan campur aduk antara lembaga riset dan produksi di negara ini.

LAPAN berdiri pada tahun 1964 sebagai lembaga riset teknologi penerbangan dan antariksa. Nurtanio sebagai pimpinan LAPAN memprioritaskan pengujian roket karena mengikuti tren waktu itu, sarat perlombaan peluncuran roket pasca keberhasilan satelit buatan Sputnik mengorbit pada tahun 1957 dan sindirian dari Forum International Geophysical Year 1957-1958 yang menyebut Indonesia sebagai blank area akibat data ilmiah antariksa yang minim.

LAPAN lantas meluncurkan dua seri roket Kartika dan lewat bantuan Jepang, tiga seri roket Kappa-8 di Pusat Antariksa LAPAN di Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat periode tahun 1964-1965. Lembaga riset ini sempat vakum pasca gugurnya Nurtanio dan peralihan pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru.

lapan-xt-400-4.jpg

XT-400, hasil karya pertama dari unit Sainkon LAPAN lewat kerjasama dengan PT. Chandra Dirgantara. Tampak pandangan tiga sisi XT-400 berikut dimensi dan performanya.

Jacob Salatun lantas mengambil alih kepemimpinan LAPAN. Sebenarnya Salatun adalah tokoh yang memotori berdirinya lembaga ini. Sebagai Sekretaris Depanri (Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia), dia justru meminta seniornya, Nurtanio untuk memimpin.

Ide pendirian LAPAN berasal dari NASA (National Aeronautics and Space Administration) milik Amerika Serikat dan TsAGI (Tsentralniy Aerogidrodinamicheskiy Institut) milik Uni Soviet. Kedua negara ini maju di bidang teknologi penerbangan dan antariksa karena memisahkan dengan jelas antara lembaga riset dan produksi.

Di bawah kepemimpinan Salatun, LAPAN menggiatkan riset penerbangan apalagi didukung oleh surat keputusan Presiden Soeharto pada tahun 1974 yang isinya mempertegas fungsi LAPAN untuk merintis dan mengembangkan kedirgantaraan nasional. Maka dibangunlah kantor Pustekbang (Pusat Teknologi Penerbangan) di Rumpin, Kabupaten Bogor dan unit Sainkon (Riset Desain dan Konstruksi Pesawat Udara) oleh LAPAN pada tahun 1977.

Lewat Sainkon inilah dibangun proyek pesawat komuter tujuh penumpang XT-400 lewat kerjasama dengan PT. Chandra Dirgantara. Perancangnya ? Tidak lain adalah Suharto, staf teknik alumni Technisch Hochschule Braunschweig yang sebelumnya ikut membidani proyek pesawat latih mula kerjasama dengan LIPNUR (Lembaga Industri Pesawat terbang Nurtanio), LT-200 (Baca : Swadaya Pesawat Latih yang Gagal – LT-200 Skytrainer). Suharto sendiri kenal baik dengan Salatun yang dianggap sebagai seniornya, salah satu dari trio—Nurtanio, Wiweko Soepono, dan Salatun—perintis Biro Rencana dan Konstruksi AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia).

lapan-xt-400-7.jpg

Guntingan berita dari KOMPAS tanggal 13 April 1978 yang menceritakan perjalanan proyek pesawat komuter tujuh penumpang XT-400 milik LAPAN-PT.Chandra Dirgantara.

Membuat pesawat komuter merupakan lanjutan pembangunan riset kedirgantaraan yang logis setelah memproduksi sendiri pesawat latih. Apalagi pesawat ini untuk melayani penerbangan perintis, pasarnya sangat potensial karena masih banyak lapangan terbang sederhana di Indonesia khususnya di pelosok Kalimantan dan Papua yang belum dilayani jalur penerbangan.

Rancangan pesawat berkemampuan STOL (Short Take Off and Landing) ini berkapasitas tujuh penumpang dan bermesin piston ganda tipe Lycoming O-540 250 tk. Suharto tetap berpegang teguh pada gagasan seniornya, Nurtanio, membangun pesawat dengan teknologi sederhana, tidak muluk-muluk, dan tentunya dengan biaya riset dan produksi terjangkau.

Satu hal lagi yang didapat dari Nurtanio adalah membajak teknologi. Suharto secara terang-terangan mengakui inspirasinya dari pesawat komuter yang sudah sukses, Britten Norman BN-2 asal Inggris. Tidak malu-malu pula, datang ke pabriknya di Bembridge dan mengukur dimensi BN-2 dengan alat ukur seadanya berupa meteran ! Hasil dari pengukuran kasar inilah yang dijadikan salah satu sumber data untuk merancang XT-400. Angka empat dipilih Suharto sebagai rancangan pesawat komuter/angkut ringan bermesin ganda.

XT-400 dari tampilan fisik mirip BN-2, tapi dengan roda pendarat utama dipasang di dudukan berbentuk sayap kecil (stubwing). Struktur kokoh dan sederhana sesuai FAR (Federal Aviation Regulations) Part 23 dan 25 berkatagori serba guna (utility) dengan desain badan dapat menanggung beban -1,5G (Gravitasi) sampai +3,6G. Uniknya pesawat ini memiliki pintu belakang (rear loading door) yang dioperasikan manual untuk memudahkan bongkar muat barang bila dijadikan pesawat angkut/kargo murni.

lapan-xt-400-61.jpg

Tata letak kokpit XT-400 dalam mock-up (kiri) dan roda pendarat utama pesawat yang ditempatkan di sponson berbentuk sayap kecil (kanan).

Karena berkapasitas tujuh penumpang, XT-400 tidak bersaing dengan BN-2 (sembilan penumpang). XT-400 juga direncanakan dikembangkan menjadi 11 penumpang dengan mesin 325 tk, lagi-lagi tidak bersaing dengan BN-2 dan masih jauh dari kapasitas angkut CASA C-212—18 penumpang—yang mulai diproduksi secara lisensi di IPTN (Industri Pesawat Terbang Nurtanio), pengembangan dari LIPNUR.

XT-400 didukung penuh oleh Menristek (Menteri Riset dan Teknologi) Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo dengan pembiayaan Rp100 juta dari BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). Uang itu dipakai untuk membuat XT-400 “di atas kertas” dan dalam bentuk mock-up 1:1, pesawat tiruan terbuat dari material murah seperti kayu dan alumunium lunak untuk memberikan gambaran nyata perkiraan dimensi, berat, tampilan kokpit, tata letak kursi penumpang, aspek ergonomi, dan sebagainya.

Mock-up XT-400 dibangun dengan melibatkan pula mahasiswa dari Universitas Pancasila di halaman rumah Suharto, di Jalan Ampera, Kemang, tempat yang sama untuk membangun replika Cureng dan Guntei di film Serangan Fajar (Baca : Membangun Replika Cureng dan Guntei untuk Film Serangan Fajar). Setelah mock-up, baru dibangun prototipe pesawat sesungguhnya yang diperkirakan selesai pada akhir tahun 1979 atau awal tahun 1980.

lapan-xt-400-81.jpg

Rangka bagian depan XT-400, tampak posisi pilot di kokpit (kiri) dan rangka badan pesawat yang selesai dirakit (kanan).
lapan-xt-400-5.jpg

Mock-up XT-400 minus sayap yang sudah dicat. XT-400 dilengkapi dua pintu di sisi kiri dan satu pintu di sisi kanan, dan memiliki pintu belakang di bawah ekor untuk bongkar muat barang.


Pergantian kabinet menteri pada bulan Oktober 1978 membuyarkan harapan itu. BJ Habibie sebagai menristek yang baru memutuskan secara sepihak bahwa XT-400 tidak dibutuhkan karena seluruh kegiatan produksi pesawat terbang dipusatkan di IPTN, fokus pada produksi C-212. XT-400 bernasib sama dengan LT-200. Keputusan egoisme sektoral ini sekaligus mematikan potensi, kebanggan, dan kemandirian industri penerbangan nasional.

Proyek XT-400 yang telah mencapai hampir 50% dihentikan dan unit Saikon LAPAN dinonaktifkan. Sayangnya mock-up-nya tidak dapat diselamatkan, yang tersisa hanya foto-foto dokumentasi dan hasil riset XT-400, telah diserahkan kepada LAPAN sebagai bagian dari arsip nasional. Pesawat yang pernah dimuat dalam buku Jane’s All The Worlds Aircraft edisi Februari 1979 ini agar tidak dilupakan oleh generasi mendatang, dibangunlah replika XT-400—berukuran lebih kecil—oleh LAPAN sebagai monumen di Rumpin.

LAPAN pasca dihentikannya XT-400 hanya melakukan riset di bidang luar angkasa karena riset penerbangan diambil alih dan dipusatkan di satu tempat, IPTN ! Campur aduk dan carut marut ini nantinya dibayar mahal lewat kegagalan N250 dan N2130. Kedua proyek nasional ini menelan investasi besar tanpa ada instansi atau badan di pemerintahan yang mengerem dan menilai kelaikannya.

lapan-xt-400-9.jpg

Pohon keluarga (family tree) XT-400, meliputi penggunaan sipil dan militer. Versi berikutnya yaitu dengan badan lebih panjang dapat mengangkut 11 penumpang dan untuk patroli maritim.


Dianak tirikan sebagai lembaga riset penerbangan, LAPAN mendapat perhatian pasca runtuhnya Orde Baru digantikan Orde Reformasi. Pustekbang diaktifkan kembali pada tahun 2011 saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Unit ini kembali melaksanakan riset pesawat terbang lewat membangun pesawat tanpa awak dan tentunya terlibat dalam pembuatan N219 bersama PT. DI (Dirgantara Indonesia), nama baru IPTN pasca reformasi.

Apakah kerjasama LAPAN-PT. DI ini lewat N219 sebagai simbol dan realisasi terpisahnya lembaga riset dan produksi industri penerbangan nasional ? Masih terlalu dini menjawab dengan jawaban positif karena N219 adalah hasil riset PT. DI bukan riset dari LAPAN. N219 dan N245—pesawat regional turboprop 45 penumpang berbasis CN235 pasca reformasi—muncul sebagai jawaban dari PT. DI atas terhentinya N250 dan N2130 dengan membuat proyek yang lebih realistis.

Kalau memang LAPAN menjadi lembaga riset seharusnya XT-400 yang dibuat—atau pesawat komuter riset dari LAPAN sendiri—bukannya mengadopsi N219. XT-400 justru menjadi “kakak tiri” dari N219, karena walaupun berkategori sama yaitu pesawat komuter dan dibangun lewat kerjasama dengan LAPAN, tapi dari spesifikasi dan desain sangat jauh berbeda.

Yang mengkhawatirkan adalah PT. DI menggandeng LAPAN bukan sebagai mitra riset melainkan penyandang dana untuk membangun prototipe N219. Sebagai catatan, pasca reformasi PT. DI nyaris bangkrut, aset yang dimiliki hanya sanggup untuk memproduksi pesanan pesawat lisensi, tidak ada uang untuk membuat pesawat produksi sendiri.

Kalau itu benar yang terjadi maka masa depan N219 akan suram karena ada kemungkinan gagal. PT. DI sebagai lembaga produksi harus mencari pembiayaan secara mandiri baik dari hasil keuntungan perusahaan maupun investasi dari luar untuk memproduksi N219. Dari sisi investasi saja pembangunan prototipe N219 tergolong lebih mahal daripada XT-400 karena berdimensi lebih besar, kapasitas penumpang lebih banyak, bermesin ganda turboprop, dan penerapan teknologi canggih di kokpit.

N219 yang terbang perdana pada tanggal 16 Agustus 2017 lalu menjadi bukti apakah tumpang tindih lembaga riset dan produksi industri penerbangan ini telah berhasil diselesaikan dengan baik atau justru sebaliknya menjadi lebih rumit dan tidak bernasib sama seperti XT-400.

N219 juga harus membuktikan kemampuannya sebagai pesawat perintis yang andal, bukan sekedar mempromosikan kecanggihan teknologinya dan terpenting lagi harus diuji coba di lapangan terbang pedalaman seperti di Papua yang bahkan pilot-pilot perintis berpengalaman sekalipun mengakui cukup berat tantangannya.

lapan-xt-400-2.jpg

Suharto berfoto di depan monumen replika pesawat rancangannya XT-400 di Pustekbang, Rumpin, Bogor pada tahun 2015, saat hadir dalam HUT (Hari Ulang Tahun) LAPAN ke-52.

Seandainya proyek XT-400 tidak digagalkan, Indonesia kemungkinan besar lebih maju industri penerbangannya, sudah memiliki pesawat kelas komuter yang dibuat sendiri dengan harga terjangkau. Tidak tertutup kemungkinan pula lahir versi pengembangan XT-400 bermesin turboprop dan berkapasitas 19 penumpang pada era 1990-an. Bukan seperti sekarang ini yang terkesan reinvent the wheel, membuang-buang waktu, tenaga, dan uang untuk menciptakan sesuatu yang faktanya sudah pernah dibuat !

Untuk XT-400 sendiri, Suharto masih terus mengembangkannya menjadi XT-800, terinspirasi dari semakin andalnya mesin dan munculnya pesawat komuter bermesin satu pada tahun 1990-an seperti Gavilán 358, GippsAero GA8, dan Cessna Caravan. XT-800 adalah XT-400 tapi bermesin tunggal. Desain pesawat komuter berkapasitas 11 penumpang ini dirancang Suharto bersama tim dari Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma pada tahun 2008.

Walaupun sudah berumur lanjut (84 tahun), Suharto yang telah diangkat sebagai salah satu dari sesepuh LAPAN tetap bersemangat dalam berkiprah di dunia penerbangan. Lewat proposalnya ke LAPAN, dia menyertakan seluruh karyanya termasuk rancangan XT-800 ini sebagai bahan pertimbangan bagi proyek Pustekbang selanjutnya. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)

WTF, this is very outrageous and unacceptable...
 
Facing Threats of Cyber War, Pindad Launches Cyber Security Technology Division
Wednesday, 18 October 2017 | 09:20 WIB

JAKARTA, NETRALNEWS.COM - PT Pindad has innovation by launching Cyber Security Technology Division in the face of the threat of cyber war that is imminent and increasingly unstoppable.

"This is a new unit in Pindad which was established two years ago, to anticipate national security disturbances," said Director of Security and Defense Products Business of PT Pindad Widjajanto at the launch of the new division of Pindad at the Indonesia International Cyber Security Leader 2017 in Jakarta on Tuesday (10/17/2017).

Widja acknowledged his side as the only military defense industry is moving quickly following the changing patterns of war in the world that rely heavily on cyber attacks.

"The patterns of war and threats have now changed, not only through the attacks of ammunition, tanks and planes, but attacks through cyber. The famous one is Wanna Cry," he said.

In the embryo of Pindad Cyber Advance System, Pindad has tied cooperation with two companies, that is, the company organizes cyber Multimatics training and technology certification company from Germany, TUV SUD.

"Pindad itself is currently working with several international partners to organize some training," he said.

Pindad concern to the training in the early stages, he said, is deliberately to create the users of cyber technology equipment that will be released next year. Pindad also always requires companies or institutions that become their clients to attend training.

"Wiretapping, hacking tools we can present, but for the operator who deepens the knowledge it is difficult, therefore we require the client who will use the services of Pindad to prepare local power. Because we want everything is controlled 100 percent by Indonesian. This is what makes us different from other cyber security providers in the world," he said.

http://www.en.netralnews.com/news/c...d.launches.cyber.security.technology.division

....



^^^^

Don't forget also to blame it to your "Magic Man" BJ Habibie who had succeed to build a most expensive plane monument N250 with cost of USD1.5 billion

Apparently you have an acute insecurity toward Indonesia ... :cheesy:

.
 
Last edited:
Jankel Fox LRPV (Long Range Patrol Vehicle) of Kopassus made by Jankel Armouring Limited.

IMG-20171004-WA0043.jpg


Detailed picture from Jankel's brochure

Jankel 1.jpg
Jankel 2.jpg
Jankel 3.jpg
Jankel 4.jpg
Jankel 5.jpg
Jankel 6.jpg
 
Last edited:
kapal-selam-mini-buatan-bth-viva.jpg

FROM INDONESIA
BPPT DAN ITS SELESAIKAN MODEL KAPAL SELAM MINI
19 OCTOBER 2017 DIANEKO_LC 1 COMMENT
Kementerian Pertahanan memberi mandat kepada Balai Teknologi Hidrodinamika, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya untuk mendesain, pengujian dan pembuatan kapal selam.

Menurut Perekayasa Utama BTH, Muhamad Ridwan Utina, proyek tersebut sudah dikerjakan sejak 2015. Oleh karena itu, tahap pengujian dan pembuatan model juga sudah selesai tahun lalu.

“Sudah sampai uji coba kemampuan, kinerja uji bergelombang, dan tenaga penggerak utama. Tinggal pembangunannya (kapal selam),” ujar Ridwan kepada VIVA.co.id di Surabaya, Rabu 18 Oktober 2017.

Ia menyebut proyek kapal selam itu belum bisa dilanjutkan ke tahap pembangunan akibat kendala pendanaan. Soal pembuatan model sampai pengujian, Ridwan menjelaskan hal yang tersulit adalah membuat propeller atau baling-baling kapal selam.

Ridwan menegaskan pihaknya harus lebih detail membuat propeller sampai bunyi baling-baling ‘halus’ dan tidak meninggalkan jejak gelombang.

Bahan baku propeller sendiri, lanjut Ridwan, dibuat dari alumunium, kuningan, timbal dan perunggu. “Kapal selam membutuhkan getaran kecil supaya tidak terdeteksi oleh musuh,” kata Ridwan.

Lalu, proses yang menghabiskan waktu adalah pembuatan model. Untuk desain bisa dalam waktu seminggu, tapi pembuatan model bisa satu bulan.

Proyek kapal selam milik Kementerian Pertahanan ini sebenarnya sudah dilakukan sejak 2007. Waktu itu desain yang dibuat oleh BTH adalah desain kapal selam mini.

Akan tetapi, program strategis ini mandek karena faktor dana. Delapan tahun kemudian dilanjutkan kembali, di mana kali ini ITS dilibatkan untuk melanjutkan desain desain kapal selam mini.

Photo : Model kapal selam mini buatan Balai Teknologi Hidrodinamika (BTH). (Viva)

Sumber : Viva
 
LAPAN XT-400, “Kakak Tiri” N219 yang Terlupakan

Sebelum muncul N219, LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) sebenarnya telah menghasilkan pesawat berkategori komuter bernama XT (eXperimental Transport)-400. Proyek ini terlupakan karena digagalkan sebelum lahir akibat egoisme sentralistik, sekaligus sebagai bukti nyata carut marut dan campur aduk antara lembaga riset dan produksi di negara ini.

LAPAN berdiri pada tahun 1964 sebagai lembaga riset teknologi penerbangan dan antariksa. Nurtanio sebagai pimpinan LAPAN memprioritaskan pengujian roket karena mengikuti tren waktu itu, sarat perlombaan peluncuran roket pasca keberhasilan satelit buatan Sputnik mengorbit pada tahun 1957 dan sindirian dari Forum International Geophysical Year 1957-1958 yang menyebut Indonesia sebagai blank area akibat data ilmiah antariksa yang minim.

LAPAN lantas meluncurkan dua seri roket Kartika dan lewat bantuan Jepang, tiga seri roket Kappa-8 di Pusat Antariksa LAPAN di Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat periode tahun 1964-1965. Lembaga riset ini sempat vakum pasca gugurnya Nurtanio dan peralihan pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru.

lapan-xt-400-4.jpg

XT-400, hasil karya pertama dari unit Sainkon LAPAN lewat kerjasama dengan PT. Chandra Dirgantara. Tampak pandangan tiga sisi XT-400 berikut dimensi dan performanya.

Jacob Salatun lantas mengambil alih kepemimpinan LAPAN. Sebenarnya Salatun adalah tokoh yang memotori berdirinya lembaga ini. Sebagai Sekretaris Depanri (Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia), dia justru meminta seniornya, Nurtanio untuk memimpin.

Ide pendirian LAPAN berasal dari NASA (National Aeronautics and Space Administration) milik Amerika Serikat dan TsAGI (Tsentralniy Aerogidrodinamicheskiy Institut) milik Uni Soviet. Kedua negara ini maju di bidang teknologi penerbangan dan antariksa karena memisahkan dengan jelas antara lembaga riset dan produksi.

Di bawah kepemimpinan Salatun, LAPAN menggiatkan riset penerbangan apalagi didukung oleh surat keputusan Presiden Soeharto pada tahun 1974 yang isinya mempertegas fungsi LAPAN untuk merintis dan mengembangkan kedirgantaraan nasional. Maka dibangunlah kantor Pustekbang (Pusat Teknologi Penerbangan) di Rumpin, Kabupaten Bogor dan unit Sainkon (Riset Desain dan Konstruksi Pesawat Udara) oleh LAPAN pada tahun 1977.

Lewat Sainkon inilah dibangun proyek pesawat komuter tujuh penumpang XT-400 lewat kerjasama dengan PT. Chandra Dirgantara. Perancangnya ? Tidak lain adalah Suharto, staf teknik alumni Technisch Hochschule Braunschweig yang sebelumnya ikut membidani proyek pesawat latih mula kerjasama dengan LIPNUR (Lembaga Industri Pesawat terbang Nurtanio), LT-200 (Baca : Swadaya Pesawat Latih yang Gagal – LT-200 Skytrainer). Suharto sendiri kenal baik dengan Salatun yang dianggap sebagai seniornya, salah satu dari trio—Nurtanio, Wiweko Soepono, dan Salatun—perintis Biro Rencana dan Konstruksi AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia).

lapan-xt-400-7.jpg

Guntingan berita dari KOMPAS tanggal 13 April 1978 yang menceritakan perjalanan proyek pesawat komuter tujuh penumpang XT-400 milik LAPAN-PT.Chandra Dirgantara.

Membuat pesawat komuter merupakan lanjutan pembangunan riset kedirgantaraan yang logis setelah memproduksi sendiri pesawat latih. Apalagi pesawat ini untuk melayani penerbangan perintis, pasarnya sangat potensial karena masih banyak lapangan terbang sederhana di Indonesia khususnya di pelosok Kalimantan dan Papua yang belum dilayani jalur penerbangan.

Rancangan pesawat berkemampuan STOL (Short Take Off and Landing) ini berkapasitas tujuh penumpang dan bermesin piston ganda tipe Lycoming O-540 250 tk. Suharto tetap berpegang teguh pada gagasan seniornya, Nurtanio, membangun pesawat dengan teknologi sederhana, tidak muluk-muluk, dan tentunya dengan biaya riset dan produksi terjangkau.

Satu hal lagi yang didapat dari Nurtanio adalah membajak teknologi. Suharto secara terang-terangan mengakui inspirasinya dari pesawat komuter yang sudah sukses, Britten Norman BN-2 asal Inggris. Tidak malu-malu pula, datang ke pabriknya di Bembridge dan mengukur dimensi BN-2 dengan alat ukur seadanya berupa meteran ! Hasil dari pengukuran kasar inilah yang dijadikan salah satu sumber data untuk merancang XT-400. Angka empat dipilih Suharto sebagai rancangan pesawat komuter/angkut ringan bermesin ganda.

XT-400 dari tampilan fisik mirip BN-2, tapi dengan roda pendarat utama dipasang di dudukan berbentuk sayap kecil (stubwing). Struktur kokoh dan sederhana sesuai FAR (Federal Aviation Regulations) Part 23 dan 25 berkatagori serba guna (utility) dengan desain badan dapat menanggung beban -1,5G (Gravitasi) sampai +3,6G. Uniknya pesawat ini memiliki pintu belakang (rear loading door) yang dioperasikan manual untuk memudahkan bongkar muat barang bila dijadikan pesawat angkut/kargo murni.

lapan-xt-400-61.jpg

Tata letak kokpit XT-400 dalam mock-up (kiri) dan roda pendarat utama pesawat yang ditempatkan di sponson berbentuk sayap kecil (kanan).

Karena berkapasitas tujuh penumpang, XT-400 tidak bersaing dengan BN-2 (sembilan penumpang). XT-400 juga direncanakan dikembangkan menjadi 11 penumpang dengan mesin 325 tk, lagi-lagi tidak bersaing dengan BN-2 dan masih jauh dari kapasitas angkut CASA C-212—18 penumpang—yang mulai diproduksi secara lisensi di IPTN (Industri Pesawat Terbang Nurtanio), pengembangan dari LIPNUR.

XT-400 didukung penuh oleh Menristek (Menteri Riset dan Teknologi) Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo dengan pembiayaan Rp100 juta dari BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). Uang itu dipakai untuk membuat XT-400 “di atas kertas” dan dalam bentuk mock-up 1:1, pesawat tiruan terbuat dari material murah seperti kayu dan alumunium lunak untuk memberikan gambaran nyata perkiraan dimensi, berat, tampilan kokpit, tata letak kursi penumpang, aspek ergonomi, dan sebagainya.

Mock-up XT-400 dibangun dengan melibatkan pula mahasiswa dari Universitas Pancasila di halaman rumah Suharto, di Jalan Ampera, Kemang, tempat yang sama untuk membangun replika Cureng dan Guntei di film Serangan Fajar (Baca : Membangun Replika Cureng dan Guntei untuk Film Serangan Fajar). Setelah mock-up, baru dibangun prototipe pesawat sesungguhnya yang diperkirakan selesai pada akhir tahun 1979 atau awal tahun 1980.

lapan-xt-400-81.jpg

Rangka bagian depan XT-400, tampak posisi pilot di kokpit (kiri) dan rangka badan pesawat yang selesai dirakit (kanan).
lapan-xt-400-5.jpg

Mock-up XT-400 minus sayap yang sudah dicat. XT-400 dilengkapi dua pintu di sisi kiri dan satu pintu di sisi kanan, dan memiliki pintu belakang di bawah ekor untuk bongkar muat barang.


Pergantian kabinet menteri pada bulan Oktober 1978 membuyarkan harapan itu. BJ Habibie sebagai menristek yang baru memutuskan secara sepihak bahwa XT-400 tidak dibutuhkan karena seluruh kegiatan produksi pesawat terbang dipusatkan di IPTN, fokus pada produksi C-212. XT-400 bernasib sama dengan LT-200. Keputusan egoisme sektoral ini sekaligus mematikan potensi, kebanggan, dan kemandirian industri penerbangan nasional.

Proyek XT-400 yang telah mencapai hampir 50% dihentikan dan unit Saikon LAPAN dinonaktifkan. Sayangnya mock-up-nya tidak dapat diselamatkan, yang tersisa hanya foto-foto dokumentasi dan hasil riset XT-400, telah diserahkan kepada LAPAN sebagai bagian dari arsip nasional. Pesawat yang pernah dimuat dalam buku Jane’s All The Worlds Aircraft edisi Februari 1979 ini agar tidak dilupakan oleh generasi mendatang, dibangunlah replika XT-400—berukuran lebih kecil—oleh LAPAN sebagai monumen di Rumpin.

LAPAN pasca dihentikannya XT-400 hanya melakukan riset di bidang luar angkasa karena riset penerbangan diambil alih dan dipusatkan di satu tempat, IPTN ! Campur aduk dan carut marut ini nantinya dibayar mahal lewat kegagalan N250 dan N2130. Kedua proyek nasional ini menelan investasi besar tanpa ada instansi atau badan di pemerintahan yang mengerem dan menilai kelaikannya.

lapan-xt-400-9.jpg

Pohon keluarga (family tree) XT-400, meliputi penggunaan sipil dan militer. Versi berikutnya yaitu dengan badan lebih panjang dapat mengangkut 11 penumpang dan untuk patroli maritim.


Dianak tirikan sebagai lembaga riset penerbangan, LAPAN mendapat perhatian pasca runtuhnya Orde Baru digantikan Orde Reformasi. Pustekbang diaktifkan kembali pada tahun 2011 saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Unit ini kembali melaksanakan riset pesawat terbang lewat membangun pesawat tanpa awak dan tentunya terlibat dalam pembuatan N219 bersama PT. DI (Dirgantara Indonesia), nama baru IPTN pasca reformasi.

Apakah kerjasama LAPAN-PT. DI ini lewat N219 sebagai simbol dan realisasi terpisahnya lembaga riset dan produksi industri penerbangan nasional ? Masih terlalu dini menjawab dengan jawaban positif karena N219 adalah hasil riset PT. DI bukan riset dari LAPAN. N219 dan N245—pesawat regional turboprop 45 penumpang berbasis CN235 pasca reformasi—muncul sebagai jawaban dari PT. DI atas terhentinya N250 dan N2130 dengan membuat proyek yang lebih realistis.

Kalau memang LAPAN menjadi lembaga riset seharusnya XT-400 yang dibuat—atau pesawat komuter riset dari LAPAN sendiri—bukannya mengadopsi N219. XT-400 justru menjadi “kakak tiri” dari N219, karena walaupun berkategori sama yaitu pesawat komuter dan dibangun lewat kerjasama dengan LAPAN, tapi dari spesifikasi dan desain sangat jauh berbeda.

Yang mengkhawatirkan adalah PT. DI menggandeng LAPAN bukan sebagai mitra riset melainkan penyandang dana untuk membangun prototipe N219. Sebagai catatan, pasca reformasi PT. DI nyaris bangkrut, aset yang dimiliki hanya sanggup untuk memproduksi pesanan pesawat lisensi, tidak ada uang untuk membuat pesawat produksi sendiri.

Kalau itu benar yang terjadi maka masa depan N219 akan suram karena ada kemungkinan gagal. PT. DI sebagai lembaga produksi harus mencari pembiayaan secara mandiri baik dari hasil keuntungan perusahaan maupun investasi dari luar untuk memproduksi N219. Dari sisi investasi saja pembangunan prototipe N219 tergolong lebih mahal daripada XT-400 karena berdimensi lebih besar, kapasitas penumpang lebih banyak, bermesin ganda turboprop, dan penerapan teknologi canggih di kokpit.

N219 yang terbang perdana pada tanggal 16 Agustus 2017 lalu menjadi bukti apakah tumpang tindih lembaga riset dan produksi industri penerbangan ini telah berhasil diselesaikan dengan baik atau justru sebaliknya menjadi lebih rumit dan tidak bernasib sama seperti XT-400.

N219 juga harus membuktikan kemampuannya sebagai pesawat perintis yang andal, bukan sekedar mempromosikan kecanggihan teknologinya dan terpenting lagi harus diuji coba di lapangan terbang pedalaman seperti di Papua yang bahkan pilot-pilot perintis berpengalaman sekalipun mengakui cukup berat tantangannya.

lapan-xt-400-2.jpg

Suharto berfoto di depan monumen replika pesawat rancangannya XT-400 di Pustekbang, Rumpin, Bogor pada tahun 2015, saat hadir dalam HUT (Hari Ulang Tahun) LAPAN ke-52.

Seandainya proyek XT-400 tidak digagalkan, Indonesia kemungkinan besar lebih maju industri penerbangannya, sudah memiliki pesawat kelas komuter yang dibuat sendiri dengan harga terjangkau. Tidak tertutup kemungkinan pula lahir versi pengembangan XT-400 bermesin turboprop dan berkapasitas 19 penumpang pada era 1990-an. Bukan seperti sekarang ini yang terkesan reinvent the wheel, membuang-buang waktu, tenaga, dan uang untuk menciptakan sesuatu yang faktanya sudah pernah dibuat !

Untuk XT-400 sendiri, Suharto masih terus mengembangkannya menjadi XT-800, terinspirasi dari semakin andalnya mesin dan munculnya pesawat komuter bermesin satu pada tahun 1990-an seperti Gavilán 358, GippsAero GA8, dan Cessna Caravan. XT-800 adalah XT-400 tapi bermesin tunggal. Desain pesawat komuter berkapasitas 11 penumpang ini dirancang Suharto bersama tim dari Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma pada tahun 2008.

Walaupun sudah berumur lanjut (84 tahun), Suharto yang telah diangkat sebagai salah satu dari sesepuh LAPAN tetap bersemangat dalam berkiprah di dunia penerbangan. Lewat proposalnya ke LAPAN, dia menyertakan seluruh karyanya termasuk rancangan XT-800 ini sebagai bahan pertimbangan bagi proyek Pustekbang selanjutnya. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)

WTF, this is very outrageous and unacceptable...

It would be better to post with English Translation of conclusion paras with important information, for the ease of International Readers otherwise, due to use of regional language other than English, post will be removed.
 
It would be better to post with English Translation of conclusion paras with important information, for the ease of International Readers otherwise, due to use of regional language other than English, post will be removed.
We are sorry for that. We thought google translate already do their job. We are make sure this will never happen again.
 
We are sorry for that. We thought google translate already do their job. We are make sure this will never happen again.

No problem. Still, translate the quote/post/article and share it again especially important contents. Google Translate wouldn't translate as such on the forum but has to be done by the member.

Regards,
 
Hehehe.... Baru maiden flight. Laku aja belon, N219 udah disuruh cakar2xan sama kakak tiri. LAPAN vs PTDI. Soeharto vs Habibie. Whatever lah.

In US and Russia, I guess it's quite normal. Lockheed and Boeing, if you think the US DoD is fully fair and honest with their procurements, think again. So is Russia, since USSR. Yak, Su, IL, Mig, there have been grudges that their government is treating one / some of the participants unfairly in air force projects.

Saya tahu tulisan itu dimaksudkan sebagai sejarah, tapi ada beberapa kalimat yang memojokan pihak tertentu. Is this necessary?

Sekarang N219 udah terbang. OTW to certification, and ( aren't we all? ) praying for good sales. I respect Soeharto, but do we really want to go back to XT400/800?

Gontok2xan seperti ini kayaknya nggak akan selesai. Next fight: N270 vs R80.

English comment: I was pointing out that disappointments from the loosing participants in government projects are normal. Every country has their own mistakes in their pursuit for technology. Some chose the wrong technology while others paid too much to develop a technology.
 
R80 tidak akan terwujud, mereka ga punya uang untuk mewujudkannya, tidak ada garansi bakal laku juga, ga ada orang yang cukup gila untuk berinvestasi di R80 kecuali keluarganya Habibie
 
Indonesia delays decommissioning of Ahmad Yani-class frigates amid South China Sea obligations

Key Points
  • The Indonesian Navy has delayed the planned retirement of its ex-Royal Netherlands Navy frigates
  • Move to ensure that the service can fulfil operational requirements and deployment obligations, especially in the South China Sea
1529709_-_main.jpg


The Indonesian Navy (Tentara Nasional Indonesia – Angkatan Laut) has decided to postpone the retirement of its Ahmad Yani-class frigates amid operational requirements that necessitate continued service of the platforms for about one more year, the service has confirmed with Jane’s .

Citing a TNI-AL source from the service’s Western Fleet (KOARMABAR), Jane’sreported in February 2016 that the country will start to retire the first of its six Ahmad Yani-class frigates in 2017. This decision was made at the 2016 iteration of an annual naval technical and logistics work plan meeting, and the intention then was to retire the class at a rate of one ship a year from 2017 to 2022.

However, given current progress of the Martadinata (SIGMA 10514)-class’ induction, and ongoing service obligations, this schedule has since been delayed by about one more year to ensure that there are no operational gaps in the fleet’s deployment capacity especially in the Natuna Sea where there is now an increasing number of unregulated fishing cases, said the TNI-AL.

Indonesia commissioned its first Martadinata-class frigate, KRI Raden Eddy Martadinata (331), in April 2017. The second-of-class, which will be known as KRI IGusti Ngurah Rai with pennant number 332 once it is in service, was launched by state-owned shipbuilder PT PAL in September 2016. The country is expected to acquire follow-on ships in this class, but a formal procurement process for this has yet to begin.

The TNI-AL’s Ahmad Yani-class ships were formerly in service with the Royal Netherlands Navy (RNLN) as the Van Speijk class. After being in service for about 20 years, the ships were transferred to Indonesia between 1986 and 1989.

http://www.janes.com/article/75032/...ass-frigates-amid-south-china-sea-obligations
 
Jokowi receives President Issoufou of Niger
Senin, 16 Oktober 2017 18:34 WIB - 980 Views

201710160484.jpg

President Joko Widodo (left) and President of the Republic of Niger Mahamadou Issoufou (second left) inspected the honorary troops at the Merdeka Palace, Jakarta, Monday (16/10/2017). (ANTARA/Wahyu Putro A) ()

Jakarta (ANTARA News) - President Joko Widodo (Jokowi), at the Merdeka Palace, here, Monday, received President Mahamadou Issoufou of Niger who is on a state visit to Indonesia on October 15-17, 2017.

The countries national anthems were played during a ceremony that also included a cannon salute to honor the president of Niger.

Foreign Affairs Minister Retno L. P. Marsudi, Cabinet Secretary Pramono Anung, Trade Minister Enggartiasto Lukita, and Public Works and Public Housing Minister Basuki were present during the ceremony.

The two leaders held a discussion in the veranda of the palace.

Issoufou is visiting Indonesia for the first time since the two countries established diplomatic ties in 2011.

Jokowi was expected to convey Indonesias keenness to forge cooperation with the Economic Community of West African States (ECOWAS).

ECOWAS comprises 15 states and has been defined as the region of West Africa since 1999.

Indonesia is eager to intensify relations with African countries, especially in the economic sector.

African countries have huge economic potential, with an average economic growth of five to six percent.

Several large Indonesian companies producing instant noodles and soaps have entered the African market.

Hence, Indonesia is keen to promote its other products in Africa, especially those of the strategic industry, such as aircraft and trains.

Moreover, the two countries were expected to discuss cooperation in the field of counterterrorism and also in capacity-building programs.

The trade volume between Indonesia and Niger is still low, reaching only US$9.7 million last year, most of which was Indonesias crude palm oil.

During a bilateral meeting with Niger, some agreements are expected to be inked, such as free visas for diplomatic and official passport holders and the establishment of a bilateral relation mechanism in the form of a Indonesia-Niger joint commission.(*)
Editor: Heru

COPYRIGHT © ANTARA 2017
 
Cobham Awarded Contract for KF-X Antenna Suite

19 Oktober 2017



The fully conformal antenna suite for the future KF-X (photo : Cobham)

Cobham Antenna Systems has been awarded a contract from Korean Aerospace Industries Ltd (KAI) to design and supply the fully conformal antenna suite for the future KF-X, next-generation indigenous multi-role and fighter aircraft.

Cobham Antenna Systems has been a leader in conformal antenna technology since the company’s inception over 50 years ago. This wealth of experience has allowed the company to develop a full suite of conformal antennas for the KF-X platform.

Unlike traditional antennas which stand proud of the skin of a platform, conformal antennas are built into the skin and allow for reduced drag, improved aerodynamics and reduced life-cycle repair costs.

The KF-X conformal antenna suite will offer a full range of Communication, Navigation and Identification (CNI) functionality.

“Cobham is an established market leader in conformal antenna technology and provides platforms with bespoke Communications, Navigations and Identification antennas which deliver high performance and reliability.” David Bulley, Vice President, General Manager of Cobham Antenna Systems said. “The KFX programme is strategically important and this award allows Cobham Antenna Systems to continue to lead the market in the design and supply of airborne antennas and systems for next generation fighter platforms.”

Cobham will be exhibiting at the Seoul International Aerospace and Defence Exhibition (ADEX) from the 17-22 October at the Seoul Airport, ADEX exhibition site in South Korea. Members of the team will be on hand to discuss any customer requirements.

(Cobham)
 
photo_2017-10-20_07-59-04.jpg

Sukarno (C) saluting from the deck of the cruiser Irian bought by fr. the Russians in 1963.

(Photo by Terence Spencer/The LIFE Images Collection/Getty Images)
 
Back
Top Bottom