What's new

Indonesia Defence Forum

.
Should we consider this Coastal defense system to be placed on Natuna?

https://www.airspace-review.com/202...n-lagi-rudal-antikapal-neptune-di-laut-hitam/

We could ask Ukraine to Transfer the tech or even Locally produce here tho.
Army brass will never agree to it, and they won't let the Navy operate shore based batteries.

And considering we already operate the Exocet in large numbers, it makes more sens to operate the land based Exocet instead. MBDA actually offered it a few years ago but again, the Army's brass ego got in the way.
 
.
Regarding the news about Nagapasa class batch 2 cancellation, I wonder if it has anything to do with the KFX renegotiation, maybe the negotiation turned sour?


With current economy and rupiah is in bad shape, doesn't make sense to cancel Nagapasa class batch 2 because of economic reason when somehow the news also stated that we interested with Turkish made sub.
 
.
Regarding the news about Nagapasa class batch 2 cancellation, I wonder if it has anything to do with the KFX renegotiation, maybe the negotiation turned sour?


With current economy and rupiah is in bad shape, doesn't make sense to cancel Nagapasa class batch 2 because of economic reason when somehow the news also stated that we interested with Turkish made sub.
It's because the Navy is trying to save face. The problems with the first batch can be attributed to the Navy demanding DSME and PAL to cut corners and ramp up production. A lot of the people in the MoD were unwilling to pay for a quality product and so they get something that they paid for.
 
. .
I think we need to revise these MEF plan, the phase 3 pretty much gonna need major changes, there is no clear picture about post 2024, will it still under MEF project or something else, but considering the pandemic maybe MEF will be extended to phase 4.
 
.
Army brass will never agree to it, and they won't let the Navy operate shore based batteries.

And considering we already operate the Exocet in large numbers, it makes more sens to operate the land based Exocet instead. MBDA actually offered it a few years ago but again, the Army's brass ego got in the way.

This kind of ego ineffective in modern warfare, in overall to relying in army while our geography archipelago soon or later well be pay higher price than the army ever got in 30 years budgets if war really breaks, the president and mod should get "reform" this elements
 
.
Something to read for
NASIONAL OPINI
Kapal Selam Korsel (1): Surat Konsultan Kapal Selam untuk Presiden Jokowi
4 Februari 2020 fnn 0 Komentar
Oleh Mochamad Toha

Jakarta, FNN – Menteri Pertahanan Prabowo Subianto saat ini sedang mengevaluasi proyek pertahanan yang bersifat strategis nasional, yaitu produksi pesawat tempur IFX dan kapal selam yang bekerjasama dengan Korea Selatan.

Untuk pesawat tempur kerjasama KFX/IFX saat ini masih tahap Engineering Manufacture Development (EMD) karena pihak Indonesia saat ini terkendala belum bayar uang urunan.

Sedangkan untuk kapal selam, Indonesia sudah mendapatkan 2 kapal selam kelas Chang Bogo yang dibuat di Korsel dan 1 kapal selam yang sedang menjalani uji pelayaran yang dibuat oleh PT PAL Surabaya.

Kini, Indonesia memesan 3 lagi kapal selam jenis yang sama. Namun, pesanan yang kedua ini menurut beberapa media luar negeri dibatalkan karena ada beberapa masalah mendasar. Namun pihak Kemenhan belum mengakui hal tersebut.

Dalam evaluasi Kemenhan kemarin, seperti dikutip dari Kompas.com, dari 3 unit kapal selam batch pertama sudah sampai di Indonesia, dua kapal selam sudah diserahkan kepada TNI AL, yaitu KRI Nagapasa 403 dan KRI Ardadedali 404.

Sedangkan untuk KRI Alugoro 405 masih menjalani uji intensif oleh PT PAL-DSME selaku principal kapal selam ini

Menurut Ketua Pelaksana Harian Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Sumardjono, dulu waktu kapal pertama diserahterimakan di Korsel memang ada 12 masalah di kapal selam tersebut. ‘

“Lalu kita datangkan ahlinya langsung dari Korea, akhirnya berkurang masalahnya hingga saat ini tinggal 5 kendala. Kapal selam kedua sudah jauh lebih baik penyelesaiannya,” kata Sumardjono.

Apa yang diungkapkan oleh Sumardjono itu tampaknya sesuai dengan pemberitaan media Prancis Latribune yang memberitakan Pemerintah Indonesia kecewa dengan performa kapal selam buatan Korsel tersebut, sehingga mencari alternatif pemasok kapal selam lain seperti U214 Turki/Jerman dan Scorpene Prancis.

Adalah Dipl. Ing. Dipl. Wirtsch. Ing. Franklin M Tambunan, Konsultan Kapal Selam yang sangat mengetahui bagaimana kualitas kapal selam produksi Korsel tersebut. Karena itulah Franklin menyurati Presiden Joko Widodo.

Dalam surat yang ditulisnya di Jakarta pada 13 Januari 2020 lalu itu Franklin yang lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, mengenalkan dirinya sebagai Direktur dari PT. Taimex Konsultan Internasional di Bidang Konsultan Perkapalan.

Khususnya kapal selam dan international business development and trader di Jerman yang saat ini kembali di Indonesia.

“Sebelum menjadi konsultan saya bekerja di galangan kapal HDW, Kiel, Jerman di berbagai posisi dan pernah juga menjadi Direktur Pendidikan Pembuatan Kapal Selam untuk negara-negara asing di luar Jerman,” ungkapnya.

Franklin menulis kepada Menhan karena kerisauannya terhadap pengadaan dan pembelian kapal selam dari Korsel serta rencana kelanjutannya yang menurutnya, tidak akan membantu pertahanan dan kemandirian industri pertahanan nasional ke depan ini.

Korsel atau galangan kapal Daewoo mulai dari berdirinya industri pembuatan kapal selamnya secara pribadi Franklin turut serta mengonsepkan pembuatan kontrak kerja sama itu serta timnya yang memberikan pendidikan kepada tenaga ahli Daewoo pada 1994 di Jerman.

Oleh karena itu ia meminta menyampaikan pikiran dan tanggapannya terhadap kedua kapal selam yang sudah kita terima dari Korsel di Surabaya dan juga pengadaan joint section pada kapal ketiga serta rencana-rencana pengadaan kerja sama dengan Korsel ke depan ini.

Pembelian kapal selam dari negara Korsel dan rencana program NKRI untuk mendapatkan pendidikan Transfer of Technology (TOT) dimaksudkan agar mampu mandiri memproduksi kapal selam ke depan nanti.

Melihat dari sejarah kepemilikan dan pengoperasian kapal selam oleh TNI AL (dulu ALRI-Angkatan Laut Republik Indonesia) yang dimulai sejak September 1959 hingga 2019 menunjukkan, Indonesia telah berjaya menggunakan kapal selama 60 tahun di perairan NKRI mempertahankan kedaulatan RI.

Demikian juga sejarah pemeliharaan, repair, dan overhaul semua kapal selam yang dimiliki oleh TNI AL senantiasa dibawa dari Indonesia ke negara pembuatnya. Hal ini disebabkan oleh ketidak mampuan galangan kapal Indonesia seperti PT PAL hingga saat ini.

Keinginan memiliki teknologi produksi atau reparasi-overhaul kapal selam sudah muncul pada tahun19 80-an saat Cakra dan Nanggala diproduksi di Jerman.

Wacana-wacana tersebut pada akhirnya direalisasikan dengan keputusan pengadaan dan pembelian kapal selam pada 2012 dari Korsel serta rencana memperoleh pendidikan TOT kapal selam dari DSME, Korsel.

“Pada 2019 TNI AL telah memperoleh 3 kapal selam dari Korsel dengan berharap mendapat kemampuan untuk memproduksi kapal selam sendiri di Indonesia,” ungkap Franklin ketika bertamu ke Redaksi fnn.co.id di Jakarta.

“Membangun industri pertahanan strategis nasional menuju kemandirian Industri Pertahanan merupakan amanat Undang Undang RI Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan,” lanjut Franklin mengutip UU 16/2012 itu.

Menurut Franklin, ahli kapal selam Korsel adalah muridnya Franklin. Korsel selama ini tidak pernah punya pabrik kapal selam. “Saat presentasi di Indonesia, Korsel tidak bisa tunjukkan prototipe. Yang ditunjukkan cuma gambar,” katanya.

Bahan baku dibeli dari Jerman, dimodifikasi di Korsel lalu dirakit di Indonesia. Sebanyak 206 tenaga Indonesia dikirim ke Korsel untuk belajar membuat kapal selam, di mana yang mengajar adalah anak muridnya Franklin.

Mereka belajar 1 minggu hingga 2,5 tahun, tergantung spek apa yang dipelajari. Padahal, hal ini sudah diingatkan Franklin pada 2012 saat pertama kali MoU dengan Korsel dibuat. Hari ini semua yang dikhawatirkan Franklin, terjadi.

“Dua kapal selam yang kemarin dikirim ke PAL Surabaya harganya Rp 13,9 trilin. Itu pun Korsel masih minta tambahan lagi,” ujar Franklin yang cerita ini sambil menangis, “betapa parahnya bangsa Indonesia dibodohi Korsel,” lanjutnya.

Kedua kapal selam itu dibuat di Korsel dan dalam bentuk utuh disetel di PAL. “Yang ketiga disambung di sini. Section 1-7 disambung di PAL lalu dilas,” kata Franklin. Korsel butuh dana lagi untuk perbaikan.

“Sekarang ada 160 masalah kapal yang perlu dana lagi. Kenapa Indonesia mau menerima barang belum jadi? Ini projek nasional. TNI AL adalah user,” tegas Franklin.

Mantan Menhan Ryamizard Ryacudu sebelum Pilpres 2019 lalu teken kontrak buat kapal selam lagi 2 kapal (batch 2). Prabowo minta dibatalkan. Ia minta supaya gunakan teknologi terbaru dari Jerman yang sudah teruji pembuat kapal selam.

Prabowo tidak mau kapal yang hanya menyelam dalam kedalaman 10 m. “Maunya AIP (air independent propulsion) yang hanya Jerman yang punya. Artinya Prabowo sudah mencium gelagat ini!

Kapal Selam Korsel (2): Franklin Paham Kemampuan Galangan Kapal Daewoo
4 Februari 2020 fnn 0 Komentar


Oleh Mochamad Toha

Jakarta, FNN – Setelah penandatangan kontrak untuk kapal selam lagi, permasalahan pun muncul. Apakah pengadaan, pembelian, dan pelaksanaan Transfer of Technology (TOT) yang disebut sudah sesuai dengan keinginan dan kebutuhan negara Indonesia terwujud?
“Apakah ketiga kapal selam buatan Korea Selatan ini memenuhi standard dan teknis yang teruji dan layak pakai?” tanya Dipl. Ing. Dipl. Wirtsch. Ing. Franklin M Tambunan dalam suratnya kepada Presiden Joko Widodo yang ditulis pada 13 Januari 2020 itu.

Di galangan kapal Howaldtswerke Deutsche Werft (HDW) di Kiel, Jerman, Franklin pernah bekerja sebagai Direktur Pendidikan Pembuatan Kapal Selam. Salah satu negara yang dididik Fanklin adalah Korsel.

“Saya paham dengan kemampuan dan kesanggupan dari Galangan Kapal Daewoo,” ungkap Franklin.

Sebelum penandatanganan kontrak pengadaan kapal selam dengan Korsel pada 2012, secara pribadi Franklin menyampaikan dalam pertemuan di Mabesal dengan KSAL saat itu bersama dalam pertemuan-pertemuan lainnya dalam bidang terkait.

Franklin meminta Kontrak Kerja Sama dengan Korsel ini harus dibatalkan karena Korsel itu bukanlah negara pembuat kapal selam dan hanya sebatas Perakit/Assambler. Korsel belum pernah menciptakan satu kapal selam yang sudah teruji dan layak.
Tapi, himbauan tersebut diabaikan dan Kontrak pengadaan tersebut ditanda tangani oleh pemerintah Indonesia. Artinya, “Kita telah mengorder kapal selam dari negara yang belum pernah menciptakan kapal selam sendiri,” tulisnya.

Dengan keputusan tersebut, pada saat yang sama Franklin ditunjuk oleh KSAL Laksamana Suparno untuk menjadi tim pengawas dalam pembuatan Kapal Selam di Indonesia.
Dalam rapat-rapat pertama di Kemenhan dan Kementerian terkait serta di PT PAL, Franklin dengan tegas mengatakan, Indonesia membutuhkan kapal prototype buatan Korsel terdahulu sebagai contoh sebelum kita tanda tangani kontrak pembeliannya.

Maka mulai saat itu juga ia tidak lagi diundang ke rapat-rapat selanjutnya hingga hari ini. Hal ini termasuk juga di KKIP. Ada rencana memberikan posisi kedudukan sebagai counter part-nya Korsel. “Orang Korsel tersebut adalah mantan murid saya, sehingga dianggap bermasalah dan tidak menyamankan dalam kerja sama, itu alasan tidak jadi penempatan tersebut,” lanjut Franklin.

Korea Selatan menyerahkan 3 kapal selam prototype atau kapal selam percobaan tidak teruji, tidak distandardisasi dan lisensi internasional dalam segala bentuk hal teknis.

Menurut Franklin, Uji Kelayakan dari semua sistem yang ada di dalam kapal selam belum disertifikasikan.

Sebelum penanda tanganan kontrak pada 2012 seharusnya tuntutan bangsa kita adalah agar Korsel mempresentasikan kapal contoh dengan segala test uji coba serta sertifikasi-sertifikasi nasional dan internasional dari kapal selam tersebut.

“Korsel harusnya menunjukkan satu contoh kapal selam sejenis yang kita mau beli sebagai kapal selam prototype yang sudah teruji kelayakannya,” tegas Franklin.

Juga, fakta-fakta mengatakan sesuai kesaksian dari User/TNI AL di Surabaya bahwa mereka menerima produk kapal selam yang sangat tidak layak pakai, baik secara teknis dan mereka ragu menggunakannya. Sebab, belum ada data-data akurat menunjukkan kelayakannya.

Kapal selam ini memiliki masalah dalam hal kesenyapan dengan Radiated Noise Level yang rendah. Maksudnya, tingkat kesenyapan ini dibutuhkan agar tak bisa didengar atau dijangkau oleh lawan saat operasi.

Selanjutnya juga tidak memiliki tingkat kemampuan penghindaran deteksi (silent-stealthy).
Ketiga kapal selam ini sangat perlu dipertanyakan apakah memiliki senjata tempur yang teruji sesuai spesifikasi dan kebutuhan TNI AL.

“Saat penerimaan kapal selam pertama saya ketahui bahwa Korsel belum mendapatkan alat senjata yang bisa diimplementasikan di dalam kapal selam yang pertama tersebut,” ungkap Franklin.

Pengalaman bekerja di perusahaan pembuatan kapal selam di Kiel, Jerman perlu disampaikan dengan tegas bahwa untuk mempublikasikan satu produk kapal selam yang baru diciptakan membutuhkan kurang lebih tujuh (7) tahun proses segala tes uji kelayakannya.
“Sesudah teruji dan disertifikasi barulah dipublikasikan. Ketiga kapal baru tersebut belum pernah melalui uji tes sejenis, sehingga diragukan kelayakannya,” tegas Franklin.

Menurutnya, kedua kapal selam buatan Korsel itu adalah kapal yang sangat berbahaya bagi penggunanya/user. Berbahaya karena jika terjadi kecelakaan maut akibatnya. Bahaya dalam mempertahankan kedaulatan NKRI jika kecelakaan, kerugian negara bukan hanya secara finansial tapi juga kehilangan awak (pasukan TNI AL) yang berkualitas dan berpengalaman tinggi.
“Korsel mengembangkan teknologi kapal selam mereka dengan menggunakan uang rakyat Indonesia,” ungkap Franklin.

Perjanjian antara Jerman dan Korsel pada 1994 dituangkan dalam kontrak bahwa kapal selam tipe 209/1200 izin lisensi pembuatannya hanya boleh diproduksi untuk kepentingan nasional Korsel saja. Tidak ada untuk izin ekspor.

Untuk menghindari pelanggaran kontrak antara Jerman dan Korsel maka Korsel menawarkan tipe 209/1400. Masalahnya tipe 209/1400 belum pernah ada saat mereka tawarkan kontrak pembelian tersebut.
“Ketiga kapal selam yang kita sudah terima di Surabaya waktu itu adalah kapal prototype, kapal percobaan Korsel yang belum teruji kelayakannya,” tegas Franklin.
“Dengan penanda tanganan kontrak tersebut maka kita membantu Korsel mengembangkan teknologi kapal selam mereka dengan uang negara Republik Indonesia,” lanjutnya. Korsel telah berhasil membohongi bangsa Indonesia.

Bateri kapal selam adalah listrik penggerak kapal selam saat operasi menyelam. Bateri yang digunakan di kedua kapal selam yang baru dari Korsel itu menggunakan bateri buatan Korsel sendiri.

Perlu dicatat, kata Franklin, bateri buatan Korsel tidak berfungsi sesuai dengan kebutuhan kapal selam tersebut. Bateri itu dibutuhkan untuk memberikan energi listrik kepada semua peralatan didalam kapal selam saat operasional.

“Menurut pengalaman pribadi dan juga dari pengalaman pengguna/user AL bahwa bateri buatan Korsel tidak berfungsi maksimal,” tutur Franklin. Hal ini membahayakan kondisi kapal saat beroperasional dan bisa mematikan pengguna kapal selam (awak TNI AL).

Perlu dipahami bahwa sekitar 65% isi peralatan teknis dalam kapal selam tersebut adalah produk-produk berasal dari Jerman. “Ini berarti bahwa ketergantungan Korsel ke negara Jerman masih sangat besar,” tambahnya.

Peraturan pemerintahan Jerman adalah setiap peralatan senjata baik peralatan-peralatan senjata baik spare parts-nya harus memiliki izin ekspor dari pemerintahan Jerman dengan negara pengguna peralatan tersebut.

Dalam pengadaan kapal selam dengan Korsel, Indonesia tidak mengadakan perjanjian-perjanjian apapun dengan pemerintahan Jerman tentang pengadaan kapal selam tersebut.

Masalah dan bahaya ke depan ini untuk Indonesia, bila terjadi sesuatu hal dan membutuhkan peralatan teknis, spare parts dari negara Jerman, bisakah Indonesia mendapatkan peralatan itu karena izin ekspor dari awal kontrak pengadaan Indonesia tak miliki ijin tersebut. Tapi ke Korsel. Artinya Indonesia akan selalu tergantung Korsel terhadap peralatan-peralatan buatan Jerman.

Mungkin saja suatu saat tertentu Indonesia diembargo Jerman atas permintaan peralatan-peralatan tersebut karena tidak adanya perjanjian-perjanjian disebut di atas.

“Hal ini sudah pernah saya bicarakan langsung dengan galangan kapal HDW yang memiliki lisensi dengan Korsel. Mereka membenarkan apa yang saya tuliskan di atas ini,” katanya.
 
.
Something to read for
that's it , franklin literally said "just go with the original manufacturer" , it's nice to see a former engineer like this revealing the scam , if what franklin said was true , then it's go for TKMS or DCNS contract .
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Perjanjian alih teknologi yang lebih dikenal dengan sebutan Transfer of Technology (TOT) dari Korea Selatan tidak mungkin bisa dilakukan. Karena, Korsel sendiri baru belajar untuk membuat kapal selam dari Jerman.

Ketika pengadaan kontrak TOT dengan Korsel yang diagendakan Kemenhan, menurut Dipl. Ing. Dipl. Wirtsch. Ing. Franklin M Tambunan, ia ikut hadir dalam rapat yang diadakan di PT PAL pada 2012 itu.

Persentase program yang dipaparkan oleh Korsel adalah program pendidikan yang Franklin dan timnya sampaikan pada 1994 di Jerman.

Dalam rapat tersebut Franklin sangat tegas mengatakan kepada presenter dari Korsel bahwa Korsel meng-copy konsepnya, tapi tanpa bukti pengalaman mendidik. “Saya tegaskan untuk tidak membohongi dan membodohi bangsa Indonesia,” tegasnya.

Menurut Franklin, Korsel belum pernah tahu dan berpengalaman bagaimana mendidik negara asing untuk membuat kapal selam. Ia dengan Jerman sepaham mengatakan bahwa 10-15 tahun ke depan bangsa Indonesia tidak akan mampu mandiri membuat kapal selam sendiri.

Fakta yang terjadi di lapangan mengatakan bahwa sudah sejumlah anak bangsa Indonesia dikirim ke Korsel ke galangan kapal Daewoo. ”Mereka pulang dengan tangan kosong tanpa pendidikan yang diharapkan,” ungkap Franklin.

“Fakta ini disampaikan oleh beberapa anak bangsa yang berbicara kepada saya,” lanjutnya.

Setidaknya ada dua latar belakangnya mengapa anak-anak bangsa Indonesia ini tidak bisa mendapatkan pendidikan yang diharapkan.

Pertama, Korsel itu baru memiliki teknologi pembuatan kapal selam yang berbobot 1400 ton. Artinya, Korsel tidak akan mentransfer sesuatu yang baru kepada siapapun dalam hal ini ke Indonesia.

Karena di pasaran pembuatan kapal selam ke depan ini Indonesia dengan sendirinya menjadi negara pesaing/kompetitor Korsel ke depan.

Kedua, Korsel bukan negara pendidik pembuatan kapal selam karena Korsel masih murid dari negara Jerman dalam pembuatan kapal selam. Sehingga, pendidikan tersebut tidak akan pernah ditransfer ke bangsa Indonesia.

“Pendidikan TOT dalam konteks lainnya adalah On The Job Training (OJT-Training). Belajar sambil bekerja. Hal ini bangsa Indonesia tidak akan pernah menerima pendidikan tersebut,” ungkap Franklin.

Menurutnya, pada 13 Januari 2020 malam, Franklin ditelepon oleh perusahaan Jerman pembuat kapal selam tipe 214 dan berunding tentang rencana pembuatan kapal selam di Indonesia.

“Jerman memastikan berulang kali kepada saya bahwa Jerman akan memberikan pendidikan TOT bilamana negara Indonesia membeli kapal selam dari Jerman,” tegas Franklin.

Karena itulah, ia meminta Pembuatan/Pengadaaan kapal selam dengan Korsel harus segera dihentikan. Pembohongan rakyat Indonesia dengan memberikan kapal selam yang bertipe prototype, yang tidak teruji dan tidak layak pakai sangat membahayakan bangsa Indonesia.

Kapal selam buatan Korsel bila dioperasikan maka keberadaan crew sangat terancam,” ujar Franklin.

Jadi, pengadaan kapal selam yang tidak layak pakai ini didanai oleh bangsa Indonesia untuk mengembangkan teknologi Korsel. Sedangkan pengembangan teknologi kapal selam untuk Indonesia tidak mendapat dukungan penuh karena dana yang tidak tersedia.

“Ini adalah pemborosan uang bangsa dan rakyat Indonesia serta pembohongan bangsa yang harus segera dihentikan,” tegas Franklin dalam suratnya kepada Presiden Joko Widodo yang entah sudah sampai ke tangan Jokowi atau belum.

Ia menyarankan, kelanjutan dari perencanaan ke depan tentang pengadaan dan pemeliharaan kapal selam untuk negara Indonesia hendaknya dikerjasamakan dengan negara yang bisa dan mampu memberikan kapal selam terbaik.

“Dan juga mampu memberikan pendidikan TOT yang bisa memampukan bangsa kita dalam waktu yang jelas dan terencana. Saya secara pribadi menyarankan ke Jerman yang membuat 2 kapal selam untuk Indonesia: Cakra dan Nanggala,” papar Franklin.

Selama ini Indonesia sudah memiliki 2 kapal selam buatan negara Jerman oleh HDW di Kiel yaitu Cakra dan Nanggala. Dalam perbincangan dan pengalamannya dengan Jerman setiap pertemuan di Jakarta atau di Jerman, mereka siap membantu,” lanjutnya.

Jerman siap membantu dalam dua tipe yaitu tipe 209 yang masih menggunakan tenaga Diesel dan tipe 214 tenaga Hybrid. Negara Jerman sudah terbukti berpengalaman dengan kelayakan kapal selam buatan mereka dengan standard internasional.

Pendidikan TOT yang berkelas untuk tipe 209 tenaga Diesel akan diberikan oleh Jerman 100 persen. TOT untuk tipe 214 dengan tenaga Hybrid, juga bersedia dengan TOT yang dalam hal ini kondisinya harus didiskusikan mana dan apa yang akan di transferkan.

“TKMS siap berdialog dan membantu Indonesia,” tulis Franklin dalam suratnya tertanggal Jakarta, 13 Januari 2020.

Spare parts dan after sales dengan pasti Jerman akan menyediakannya dengan jangka kurang lebih 25 tahun ke depan sesuai aturan yang berlaku di Jerman.

Melihat ke depan, Indonesia akan memiliki 5 buah kapal selam: 2 kapal selam buatan Jerman dan 3 kapal selam buatan Korsel. Sesuai dengan jadwal maintenance, repair dan overhaul (MRO) yakni berjadwal tiap tahun maintenance, 2-3 tahun checks for repair dan overhaul.

Sarannya adalah agar juga bangsa Indonesia dididik untuk memaintain, repair dan overhaul kapal selam ini ke depan nanti. Pekerjaan MRO ini tidak boleh diabaikan begitu saja untuk menghindari kapal selam ini kembali di bawa ke negara pembuatnya.

Selanjutnya jika bangsa Indonesia mampu MRO, maka kita juga bisa ikut bersaing di market internasional karena ada lebih dari 160 kapal selam tipe 209 buatan Jerman digunakan oleh beberapa negara yang bisa kita tawarkan jasa MRO tersebut.

“Saran penutup tulisan saya, NKRI merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia yang mempunyai 17.504 pulau, panjang garis pantai 81.000 km dengan luas perairan 5,8 juta km2,” kata Franklin.

Kapal selam tipe 209 adalah teknologi yang sudah tua walau masih baik dan canggih. Tapi, berdasarkan dengan luasnya perairan NKRI sudah membutuhkan kapal selam yang mampu menyelam lebih lama dari tipe 209.

Kapal selam tipe 214 dengan tenaga Hybrid adalah kapal selam yang mampu, dilengkapi dengan sistem pendorongan Fuel Cell (Air Independent Propulsion/AIP) dan sewaco yang lengkap (Cilyndrical Array Sonar, Passive Ranging Sonar, Flank Array Sonar, Cilyndrical Transducer Array, Towed Array Sonar, Intercept Array Sonar, Radar, ESM dan Optronic).

Waktu/endurance menyelam hingga 80 hari menggunakan teknologi Hybrid atau lebih sedangkan tipe 209 menggunakan Diesel hanya mampu hingga 45 hari saja. Kemampuan bateri kapal selam sangat menentukan pada saat operasional menyelam.

Ia menyarankan kapal selam tipe 214 sistem AIP sebagai penerus dan pengganti generasi kapal selam tipe 209 dalam pengadaan berikutnya. Pada saat kunjungan Menhan Prabowo Subianto ke UNHAN menyampaikan keinginannya untuk memiliki kapal selam tipe 214 ini.

“Demikian penyampaian kerisauan dan pemahaman serta saran pribadi saya kepada bapak Presiden dan berharap menghentikan kerja sama dengan Korsel dan mengadakan hubungan kerja sama pembuatan kapal selam ke negara Jerman kedepan nanti,” lanjutnya.

“Dan, saya bersedia membantu bapak dan bangsa Indonesia dalam merealisasikan rencana-rencana ke depan yang berkaitan khususnya dengan kapal selam, tapi juga dengan hal-hal yang dibutuhkan dalam bidang pertahanan,” kata Franklin.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
https://www.pepnews.com/politik/p-d...siap-bantu-transfer-of-technology-kapal-selam
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
 
Last edited:
.
This kind of ego ineffective in modern warfare, in overall to relying in army while our geography archipelago soon or later well be pay higher price than the army ever got in 30 years budgets if war really breaks, the president and mod should get "reform" this elements
what we need in a strong civilian leader, once upon a time ,i had high hopes that mr jokowi will be able to control the (army) generals, but that now it's seems the opposite.
 
.
What happened in nagapasa class could be have implication to kfx, some days ago, someone posted beside of aesa radar and Stealth the rest similiar to t/fa-50,
Better to spend our money in original designer, but what about penalties? And about kfx if really cancel, i guess rafale will take the place

Hope the mr president and mr Prabowo do the right thing
 
Last edited:
.
What happened in nagapasa class could be have implication to kfx, some days ago, someone posted beside of aesa radar and Stealth the rest similiar to t/fa-50,
Better to spend our money in original designer, but what about penalties? And about kfx if really cancel, i guess rafale will take the place

Hope the mr president and mr Prabowo do the right thing
this is probably why almarhum Mr.Habibie was also skeptical about KF-X project .
https://finance.detik.com/industri/...canggih-bj-habibie-itu-salah-dan-omong-kosong
 
.
What happened in nagapasa class could be have implication to kfx, some days ago, someone posted beside of aesa radar and Stealth the rest similiar to t/fa-50,
Better to spend our money in original designer, but what about penalties? And about kfx if really cancel, i guess rafale will take the place

Hope the mr president and mr Prabowo do the right thing

Better go to F35 and F16 though
 
.
however im still thinking what franklin said was pretty much a salesman fighting for their original product against the "KW 1" ones.....
 
.
Breakdown of F 16 V Bulgarian

https://www.govinfo.gov/content/pkg...NjqlVm3gnvkhiJy-WRVpva5bKHgzCtbWoOnmeq-1vcVrU

BILLING CODE 5001-06-C
Transmittal No. 19-36
Notice of Proposed Issuance of Letter of Offer Pursuant to Section
36(b)(1) of the Arms Export Control Act, as amended
(i) Prospective Purchaser: Government of Bulgaria
(ii) Total Estimated Value:

Major Defense Equipment *............................... $ .763 billion
Other................................................... $ .910 billion
---------------
TOTAL................................................. $1.673 billion


(iii) Description and Quantity or Quantities of Articles or
Services under Consideration for Purchase:

Major Defense Equipment (MDE):
Eight (8) F-16C/D Block 70/72 Aircraft
Ten (10) F110 General Electric Engines (includes 2 spares)
Ten (10) Link-16 Multifunctional Information Distribution Systems--
JTRS (MIDS-JTRS) (includes 2 spares)
Nine (9) Improved Program Display Generators (iPDG) (includes 1
spare)
Nine (9) APG-83 Active Electronically Scanned Array (AESA) Radars
(includes 1 spare)
Four (4) AN/AAQ-33 SNIPER Targeting Pods
Nine (9) Modular Mission Computers (MMC) 7000AH (includes 1 spare)
Nine (9) LN-260 Embedded GPS/INS (EGI)
Nine (9) M61 Vulcan 20mm Cannons
Sixteen (16) AIM-120C7 Advanced Medium Range Air-to-Air Missiles
(AMRAAMs)
One (1) AIM-120C7 Spare Guidance Section
Twenty-four (24) AIM-9X Sidewinder Missiles
Eight (8) AIM-9X Captive Air Training Missiles (CATM)
Four (4) AIM-9X Spare Tactical Guidance Sections
Four (4) AIM-9X Spare CATM Guidance Sections
Forty-eight (48) LAU-129 Multi-Purpose Launchers
Fifteen (15) GBU-49 Enhanced Paveway II Kits
Fifteen (15) GBU-54 Laser JDAM Kits
Twenty-eight (28) GBU-39 Small Diameter Bombs (SDB-1)
Twenty-four (24) FMU-152 Fuzes
Twenty-four (24) MK82 Bombs (Tritonal)
Six (6) MK82 Bombs (Inert)
Thirteen (13) MAU-210 Enhanced Computer Control Group (ECCG)

Non-MDE: Also included are nine (9) AN/ALQ-211 Internal Advanced
Integrated Defensive Electronic Warfare Suites (including 1 spare);
nine (9) AN/ALE-47 Countermeasure Dispensers (including 1 spare); 4,140
Infrared Flare countermeasures, with impulse cartridges; 8,250 each of
PGU-27A/B 20mm training and combat munitions; thirty-six (36) MK-124
Signal/Smoke Illumination devices; nine (9) APX-126 Advanced
Identification Friend or Foe

[[Page 28289]]

(AIFF) units with Secure Communications and Cryptographic Appliques;
eighteen (18) AN/ARC-238 UHF/VHF SATURN Radios; sixteen (16) AIM-120C
AMRAAM training CATMs; Joint Mission Planning System (JMPS) with
software, training and support; twenty (20) Joint Helmet Mounted Cueing
System (JHMCS) II with Night Vision Goggle compatibility; ten (10)
Night Vision Devices; two (2) Remote Operated Video Enhanced Receiver
(ROVER) 6i units, plus 1 ground station; ground training device (flight
and maintenance simulator); one (1) Avionics I-level Test Station;
Electronic Combat International Security Assistance Program (ECISAP)
support; Cartridge Actuated and Propellant Actuated Devices (CAD/PAD)
support; Common Munitions Bit-test Reprogramming Equipment (CMBRE)
support with Computer Test Set Adapter Group; communications equipment;
software delivery and support; facilities and construction support;
spares and repair/replace parts; personnel training and training
equipment; publications and technical documentation; containers;
munition support and test equipment; aircraft and munition integration
and test support; studies and surveys; U.S. Government and contractor
technical, engineering and logistical support services; and other
related elements of logistics and program support.
(iv) Military Department:

Air Force (BU-D-SAB, BU-D-AAA)
Navy (BU-P-AAD, BU-P-LAR)
(v) Prior Related Cases, if any: None
(vi) Sales Commission, Fee, etc., Paid, Offered, or Agreed to be
Paid: None
(vii) Sensitivity of Technology Contained in the Defense Article or
Defense Services Proposed to be Sold: See Attached Annex
(viii) Date Report Delivered to Congress: May 30, 2019
* As defined in Section 47(6) of the Arms Export Control Act.

POLICY JUSTIFICATION

Bulgaria--F-16 Block 70/72 New Purchase

The Government of Bulgaria has requested to buy eight (8) F-16 C/D
Block 70/72 aircraft; ten (10) F110 General Electric engines (includes
2 spares); ten (10) Link-16 Multi-Functional Information Distribution
System (MIDS)--JTRS (MIDS-JTRS) (includes 2 spares); nine (9) Improved
Program Display Generators (iPDG) (includes 1 spare); nine (9) AN/APG-
83 Active Electronically Scanned Array (AESA) Radars (includes 1
spare); four (4) AN/AAQ-33 SNIPER Targeting Pods; nine (9) Modular
Mission Computers (MMC) 7000AH (includes 1 spare); nine (9) LN-260
Embedded GPS/INS (EGI); nine (9) M61 Vulcan 20mm Cannons; sixteen (16)
AIM-120C7 Advanced Medium Range Air-to-Air Missiles (AMRAAMs); one AIM-
120C7 Spare Guidance Section; twenty-four (24) AIM-9X Sidewinder
Missiles; eight (8) AIM-9X Captive Air Training Missiles (CATM); four
(4) AIM-9X Spare Tactical Guidance Sections; four (4) AIM-9X Spare CATM
Guidance Sections; forty-eight (48) LAU-129 Multi-Purpose Launchers;
fifteen (15) GBU-49 Enhanced Paveway II Kits; fifteen (15) GBU-54 Laser
JDAM Kits; twenty-eight (28) GBU-39 Small Diameter Bombs (SDB-1);
twenty-four (24) FMU-152 Fuzes; twenty-four (24) MK-82 Bombs
(Tritonal); six (6) MK82 Bombs (Inert); and thirteen (13) MAU-210
Enhanced Computer Control Group (ECCG). Also included are nine (9) AN/
ALQ-211 Internal Advanced Integrated Defensive Electronic Warfare
Suites (including 1 spare); nine (9) AN/ALE-47 Countermeasure
Dispensers (including 1 spare); 4,140 Infrared Flare countermeasures,
with impulse cartridges; 8,250 each of PGU-27A/B 20mm training and
combat munitions; thirty-six (36) MK-124 Signal/Smoke Illumination
devices; nine (9) APX-126 Advanced Identification Friend or Foe (AIFF)
units with Secure Communications and Cryptographic Appliques; eighteen
(18) AN/ARC-238 UHF/VHF SATURN Radios; sixteen (16) AIM-120C AMRAAM
training CATMs; Joint Mission Planning System (JMPS) with software,
training and support; twenty (20) Joint Helmet Mounted Cueing System
(JHMCS) II with Night Vision Goggle compatibility; ten (10) Night
Vision Devices; two (2) Remote Operated Video Enhanced Receiver (ROVER)
6i units, plus 1 ground station; ground training device (flight and
maintenance simulator); one (1) Avionics I-level Test Station;
Electronic Combat International Security Assistance Program (ECISAP)
support; Cartridge Actuated and Propellant Actuated Devices (CAD/PAD)
support; Common Munitions Bit-test Reprogramming Equipment (CMBRE)
support with Computer Test Set Adapter Group; communications equipment;
software delivery and support; facilities and construction support;
spares and repair/replace parts; personnel training and training
equipment; publications and technical documentation; containers;
munition support and test equipment; aircraft and munition integration
and test support; studies and surveys; U.S. Government and contractor
technical, engineering and logistical support services; and other
related elements of logistics and program support. The estimated cost
is $1.673 billion.
The proposed sale will contribute to the foreign policy and
national security of the United States by helping to improve security
of a NATO ally and a key democratic partner of the United States in
ensuring peace and stability in this region.
The proposed sale will contribute to Bulgaria's capability to
provide for the defense of its airspace, regional security, and
interoperability with the United States and NATO. These aircraft will
provide Bulgaria with a fleet of modernized multi-role combat aircraft,
ensuring that Bulgaria can effectively operate in hazardous areas and
enhancing the Bulgarian Air Force's interoperability with U.S. as well
as NATO forces. Bulgaria currently relies on the United States and the
United Kingdom to participate in joint air policing. By acquiring these
F-16s and the associated sustainment and training package, Bulgaria
will be able to provide for the defense of its own airspace and
borders. Bulgaria will have no difficulty absorbing this aircraft and
services into its armed forces.
The proposed sale of this equipment will not alter the basic
military balance in the region.
The prime contractor will be Lockheed Corporation, Bethesda,
Maryland. There are no known offset agreements proposed in connection
with this potential sale.
Implementation of this proposed sale will not require the
assignment of any additional U.S. Government or contractor
representatives to Bulgaria.
There will be no adverse impact on U.S. defense readiness as a
result of this proposed sale.
Transmittal No. 19-36
Notice of Proposed Issuance of Letter of Offer Pursuant to Section
36(b)(1) of the Arms Export Control Act
Annex
Item No. vii
(vii) Sensitivity of Technology:
1. This sale will involve the release of sensitive technology to
Bulgaria. The F-16C/D Block 70/72 weapon system is unclassified, except
as noted below. The aircraft utilizes the F-16 airframe and features
advanced avionics and systems. It will contain the General Electric
F110-129D engine, AN/APG-83 radar, digital flight control system,
embedded internal global navigation system, Joint Helmet Mounted Cueing
Systems (JHMCS II) with night vision

[[Page 28290]]

compatibility, internal and external electronic warfare equipment,
Advanced IFF, LINK-16 datalink, operational flight trainer, and
software computer systems.
2. Sensitive and/or classified (up to SECRET) elements of the
proposed F-16 include hardware, accessories, components, and associated
software: LINK-16 (MIDS-JTRS) with TACAN and ESHI Terminals, Multi-
purpose Launcher (LAU-129), Internal AN/ALQ-211 EW Management Systems,
Advanced Identification Friend or Foe (AIFF), Cryptographic Appliques
(KIV-78), Dual-band ARC-238 UHF/VHF Radios, KY-58M COMSEC Secure Voice
Processors, Joint Mission Planning System, F-16 Flight Simulator,
Avionics I-level Test Station, and SNIPER AN/AAQ-33 Targeting Pods.
Additional sensitive areas include operating manuals, maintenance
technical orders containing performance information, operating and test
procedures, and other information related to support operations and
repair. The hardware, software and data identified are classified to
protect vulnerabilities, design and performance parameters and other
similar critical information.
3. The AN/APG-83 radar is an Active Electronically Scanned Array
(AESA) upgrade on the F-16. It includes higher processor power, higher
transmission power, more sensitive receiver electronics, and Synthetic
Aperture Radar (SAR), which creates higher resolution ground maps from
a greater distance than existing mechanically scanned array radars
(e.g., APG-68). The upgrade features an increase in detection range of
air targets, increase in processing speed and memory, in addition to
significant improvement in all operating modes. The highest
classification of the radar is SECRET.
4. The Multifunctional Information Distribution System-Low Volume
Terminal (MIDS-LVT) is an advanced Link-16 command, control,
communications, and intelligence (C3I) system incorporating high-
capacity, jam-resistant, digital communication links for exchange of
near real-time tactical information, including both data and voice,
among air, ground, and sea elements. MIDS-LVT is intended to support
key theater functions such as surveillance, identification, air
control, weapons engagement coordination, and direction for all
services and allied forces. The system will provide jamming-resistant,
wide-area communications on a Link-16 network among MIDS and Joint
Tactical Information Distribution System (JTIDS) equipped platforms.
The MIDS/LVT and MIDS On Ship Terminal hardware, publications,
performance specifications, operational capability, parameters,
vulnerabilities to countermeasures, and software documentation are
classified CONFIDENTIAL. The classified information to be provided
consists of that which is necessary for the operation, maintenance, and
repair (through intermediate level) of the data link terminal,
installed systems, and related software. Group A provision only will be
transferred initially.
5. EGI LN-260: The Embedded GPS INS (EGI) LN-260 is a sensor that
combines GPS and inertial sensor inputs to provide accurate location
information for navigation and targeting. The EGI LN-260 is
UNCLASSIFIED. The GPS crypto variable keys needed for highest GPS
accuracy are classified up to SECRET.
6. The Modular Mission Computer (MMC) is the central aircraft
computer of the F-16. It serves as the hub for all aircraft subsystems
and avionics data transfer. The hardware and software are classified
SECRET.
7. The Improved Programmable Display Generator (iPDG) and color
multifunction displays utilize ruggedized commercial liquid crystal
display technology that is designed to withstand the harsh environment
found in modern fighter cockpits. The display generator is the fifth
generation graphics processor for the F-16. Through the use of state-
of-the-art microprocessors and graphics engines, it provided orders of
magnitude increases in throughput, memory, and graphics capabilities.
The hardware and software are UNCLASSIFIED.
8. The SNIPER (AN/AAQ-33) targeting system is UNCLASSIFIED and
contains technology representing the latest state-of-the-art in
electro-optical clarity and haze, and low light targeting capability.
Information on performance and inherent vulnerabilities is classified
SECRET. Software (object code) is classified CONFIDENTIAL. Overall
system classification is SECRET.
9. The M61 20mm Vulcan Cannon is a six barreled automatic cannon
chambered in 20x120mm with a cyclic rate of fire from 2,500-6,000 shots
per minute. This weapon is a hydraulically powered air cooled Gatling
gun used to damage/destroy aerial targets, suppress/incapacitate
personnel targets and damage or destroy moving and stationary light
materiel targets. The M61 and its components are UNCLASSIFIED.
10. The AIM-9X Block II SIDEWINDER Tactical Missile includes the
following advanced technology: Active Optical Target Detector (AOTD),
Gyro Optics Assembly within the Guidance Control Section (GCS),
Infrared Countermeasures (IRCM), Detection and Rejection Circuitry,
digital ignition safety, a reduced smoke rocket motor and a weapons
datalink to support beyond visual range engagements. The equipment/
hardware, software, and maintenance are classified CONFIDENTIAL.
Manuals and technical documents are classified SECRET. Performance and
operating information is classified SECRET.
11. The LAU-129 Guided Missile Launcher is capable of launching the
AIM-9 family of missile or AIM-120 Advanced Medium Range Air-to-Air
Missile (AMRAAM). The LAU-129 launcher provides mechanical and
electrical interface between missile and aircraft. There are five
versions produced strictly for foreign military sales. The only
difference between these launchers is the material they are coated with
or the color of the coating.
12. The AIM-120C7 AMRAAM is a radar-guided missile featuring
digital technology and micro-miniature solid-state electronics. The
AMRAAM capabilities include look-down/shoot down, multiple launches
against multiple targets, resistance to electronic countermeasures, and
interception of high- and low-flying and maneuvering targets. The
AMRAAM All Up Round (AUR) is classified CONFIDENTIAL, major components
and subsystems range from UNCLASSIFIED to CONFIDENTIAL, and technical
data and other documentation are classified up to SECRET.
13. Joint Direct Attack Munitions (JDAM) (General Overview) is a
Joint Service weapon which uses an onboard GPS-aided Inertial
Navigation System (INS) Guidance Set with a MK 82, MK 83, MK 84, BLU-
109, BLU-110, BLU-111, BLU-117, BLU-126 (Navy) or BLU-129 warhead. The
Guidance Set, when combined with a warhead and appropriate fuze, and
tail kit forms a JDAM Guided Bomb Unit (GBU). The JDAM Guidance Set
gives these bombs adverse weather capability with improved accuracy.
The tail kit contains an Inertial Navigation System (INS) guidance/
Global Positioning System (GPS) guidance to provide highly accurate
weapon delivery in any ``flyable'' weather. The INS, using updates from
the GPS, helps guide the bomb to the target via the use of movable tail
fins. The JDAM weapon can be delivered from modest standoff ranges at
high or low altitudes against a variety of land and surface targets
during the day or night. After release, JDAM autonomously guides to a
target, using the resident GPS-aided INS

[[Page 28291]]

guidance system. JDAM is capable of receiving target coordinates via
preplanned mission data from the delivery aircraft, by onboard aircraft
sensors (i.e. FLIR, Radar, etc.) during captive carry, or from & third
party source via manual or automated aircrew cockpit entry. The JDAM as
an All Up Round is SECRET; technical data for JDAM is classified up to
SECRET.
14. GBU-54/56 (LJDAM) are 500 pound and 2,000 pound JDAM
respectively, which incorporate all the capabilities of the JDAM and
add a precision laser guidance set. The Laser--JDAM (LJDAM) gives the
weapon system an optional semi-active laser guidance in addition to the
correct GPS/INS guidance, which allows for striking moving targets. The
LJDAM AUR and all of its components are SECRET; technical data for JDAM
is classified up to SECRET. The GBU-54/56 contain a GPS Receiver Card
with Selective Availability Anti-Spoofing Module (SAASM).
15. GBU-49 and GBU-50 Enhanced Paveway II (EP II) are 500lbs/
2000lbs dual mode laser and GPS guided munitions respectively. The EP
II works together with an embedded MAU-210 Enhanced Computer Control
Group (ECCG) to guide the warhead to its laser-designated target.
Information revealing target designation tactics and associated
aircraft maneuvers, the probability of destroying specific/peculiar
targets, vulnerabilities regarding countermeasures and the
electromagnetic environment is classified SECRET. Information revealing
the probability of destroying common/unspecified targets, the number of
simultaneous lasers the laser seeker head can discriminate, and data on
the radar/infrared frequency is classified CONFIDENTIAL.
16. The Guided Bomb Unit-39 (GBU-39/B) small diameter bomb (SDB) is
a 250-lb class precision guided munition that is intended to provide
aircraft with an ability to carry a high number of bombs. The weapon
offers day or night, adverse weather, precision engagement capability
against pre-planned, fixed, or stationary soft, non-hardened, and
hardened targets, and provides greater than 50 NM standoff range.
Aircraft are able to carry four SDBs in place of one 2,000-lb bomb. The
SDB is equipped with a GPS-aided inertial navigation system to attack
fixed/stationary targets such as fuel depots and bunkers. The SDB and
all of its components are SECRET; technical data is classified up to
SECRET.
17. Joint Programmable Fuze (JPF) FMU-152 is a multi-delay, multi-
arm and proximity sensor compatible with general purpose blast, frag
and hardened-target penetrator weapons. The JPF settings are cockpit
selectable in flight when used with JDAM weapons.
18. Mk-82 General Purpose (GP) bomb is a 500 pound, free-fall,
unguided, low-drag weapon. The Mk-82 is designed for soft, fragment
sensitive targets and is not intended for hard targets or penetrations.
The explosive filling is usually tritonal, though other compositions
have sometimes been used. The overall classification of the weapon is
UNCLASSIFIED.
19. Third generation aviation Night Vision Goggles (NVGs) offer
high resolution, high gain, and photo response to near infrared light
sources. Helmet mount configurations are designed for fixed and rotary-
wing applications. Hardware is UNCLASSIFIED, and technical data and
documentation to be provided are UNCLASSIFIED.
20. If a technologically advanced adversary were to obtain
knowledge of the specific hardware and software elements, the
information could be used to develop countermeasures that might reduce
weapon system effectiveness or be used in the development of a system
with similar or advanced capabilities.
21. A determination has been made that Bulgaria can provide
substantially the same degree of protection for the sensitive
technology being released as the U.S. Government. This sale is
necessary in furtherance of the U.S. foreign policy and national
security objectives outlined in the Policy Justification.
22. All defense articles and services listed in this transmittal
are authorized for release and export to the Government of Bulgaria.

[FR Doc. 2019-12780 Filed 6-17-19; 8:45 am]
BILLING CODE 5001-06-P

_-----------_


Thats what you called open and fair procurement, no wonder actually a lot of people in upper brass government and representative (cukong dan Mafia Russo included) not like to deal with US as they usually dont get their fair share of cuts and pies. Only doofus who against such transparent deals
 
.

Latest posts

Back
Top Bottom