What's new

Indonesia Defence Forum

Konon pada era Perang Kemerdekaan, banyak didatangkan pakar2 Militer dari Jerman yang banyak menganggur pasca perang, untuk membantu usaha pembentukan tentara profesional yang nantinya menjadi cikal bakal TNI. Contoh yang paling kentara adalah sistem Wehrkreis/ Military District, dan pada perang kemerdekaan memang wilayah2 operasi pasukan Republik dibagi atas WK I, WK II, WK III dst...yang sekarang berevolusi menjadi sistem KODAM. Contoh yang tidak terlalu kentara adalah Goose Step TNI yang jelas bukan berasal dari legacy pemikiran Jepang maupun Belanda, karena mereka tidak pakai Goose Step, hanya Jerman yang secara luas memakainya dalam Drill dan March mereka (bandingkan saja Goose Step TNI paling mirip punya negara mana).

Menurut saya pengaruh KNIL lebih signifikan dalam membentuk TNI modern daripada PETA, terutama dalam bagaimana KNIL membentuk organisasi TNI dan pola pikir TNI yang cenderung internal (melihat ke dalam) dan fokus ke COIN/anti-separatisme. Jajaran perwira militer TNI di awal kemerdekaan sampai akhir Orla banyak didominasi ex-KNIL (Nasution, Suharto, Yani) sedangkan yang ex-PETA saja dan tidak pernah di KNIL, pengaruhnya tidak terlalu signifikan (Kolonel mulu..). Pada perekrutan dan pelatihan anggota2 baru TNI, dilakukan di mess2 peninggalan Belanda, dan jelas dengan alasan familiaritas, mess2 tersebut dijalankan oleh pamong2 yang kebanyakan ex-KNIL, yang tentu melatih dan membentuk prajurit berdasarkan pengalaman mereka di KNIL.

Kalau untuk DOKTRIN, rasanya tidak perlu dijelaskan disini, karena Wikipedia, Buku2 dsb.. banyak memuat definisi dari DOKTRIN, maka anggap saja definisi saya akan apa itu DOKTRIN sama dengan yang tertera di buku.


Kodam, kodim, Korem, Koramil, infantry laden command control and structure. Indonesian military district model is quite useful to nurture Nationalism, Enhance Government presence and policy even at the most remoted area and suppress the idea of rebellion and in contrast with State ideology. Mau tidak mau Indonesia military district model sukses mencegah proses Balkanisasi Nusantara, dari era Soekarno sampai reformasi dan juga itu terjadi hanya dalam tempo kurang dari satu abad. Padahal Indonesia itu terlalu beragam, dan topografi medannya paling sulit untuk membentuk negara kesatuan.
 
Konon pada era Perang Kemerdekaan, banyak didatangkan pakar2 Militer dari Jerman yang banyak menganggur pasca perang, untuk membantu usaha pembentukan tentara profesional yang nantinya menjadi cikal bakal TNI.

Bukan didatangkan, tapi mereka pd dasarnya udah ada (presence) di Jawa pd saat itu, itupun rata2x sukarela mereka bantu kemerdekaan (rata2x ada motif kepentingan pribadi sich). Kalau yg posisi di Eropa yach "diproses" ama sekutu
 
Slowly but surely.

Pengamat: Komando Teritorial TNI tak Relevan Sekarang

Sunday, 06 Oct 2019 11:25 WIB
1570270489-Sejumlah-kendaraan-alutista-TN.webp

Sejumlah kendaraan alutista TNI melintas pada upacara perayaan HUT TNI di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Sabtu (5/10).
Baca Juga

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pengamat militer dari Universitas Gadjah Mada Najib Azca menilai keberadaan struktur Komando Teritorial (Koter) sudah tidak relevan lagi dipertahankan untuk mendukung profesionalisme TNI. Sebab, sekarang ini TNI sudah hidup dalam konteks sistem demokratik.

Menurut Najib, pada masa perjuangan kemerdekaan struktur Komando Teritorial memang efektif untuk melawan musuh, khususnya di era penjajahan Belanda. Guna mendukung perang gerilya, Komando Teritorial yang secara khusus berisi TNI Angkatan Darat (AD) saat itu diperlukan dan dibentuk menyebar di seluruh penjuru Tanah Air.

Kendati demikian, di era demokrasi saat ini, kata dia, Komando Teritorial TNI yang strukturnya mulai dari Komando Resor Militer (Korem), Komando Distrik Militer (Kodim), maupun Komando Rayon Militer (Koramil) hingga Babinsa di pelosok desa tidak lagi memiliki fungsi yang jelas.

Mereka difungsikan tidak hanya dalam lingkup tugas pokoknya yaitu menjaga pertahanan negara, tetapi telah menyentuh aspek keamanan, intelijen yang seharusnya menjadi ranah institusi lain seperti kepolisian, BIN hingga aspek sosial, kemasyarakatan. "Bahkan ngurusi urusan kemasyarakatan, ngurusi pencetakan sawah, membantu swasembada pangan nah apa hubungannya?" kata dia.

Selain itu, lanjut Najib, keberadaan Komando Teritorial mulai dari pusat hingga perdesaan juga justru berpotensi menggoyahkan profesionalime personel TNI untuk terlibat dalam ranah politik praktis. Sebab, dengan struktur teritorial yang komprehensif, membuat siapapun aparat atau pejabat di tingkat lokal merasa perlu berhubungan dengan TNI.

Najib mengatakan perubahan struktur Komando Teritorial sebenarnya telah menjadi salah satu tuntutan dalam agenda reformasi. Sejumlah jenderal TNI seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Agus Wirahadikusumah, hingga Gubernur Lemhannas Agus Widjojo menjadi tokoh-tokoh militer yang pada saat itu setuju dengan reformasi struktur Komando Teritorial TNI.

"Tapi terkendala karena banyak perlawanan dan banyak kalangan tentara konservatif yang memandang itu (Komando Teritorial) sebagai kekuatan TNI dan jati diri TNI Angkatan Darat maka tidak boleh dihapus," kata Najib yang juga kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM ini.

Menurut Najib, struktur yang baru dan relevan dengan tugas TNI cukup dengan keberadaan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan). Bukan hanya TNI AD, Kogabwilhan mengintegrasikan tugas tiga matra TNI, yakni TNI AL, TNI AU Dan TNI AD.

Kendati demikian, struktur yang mengintegrasikan tiga matra TNI tersebut juga perlu didukung dengan penguatan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) khususnya untuk AU dan AL selaras dengan luasnya cakupan wilayah maritim Indonesia. "Kesejahteraan perajurit TNI juga perlu diperhatikan. Jangan sampai karena (ekonomi) pas-pasan tergoda menggunakan fasilitas mereka untuk melakukan fungsi di luar fungsi pokok misalnya menjadi 'backing' bisnis atau pengusaha," kata peraih gelar doktor dari Amsterdam Istitute for Social Science Research (AISR), University of Amsterdam, Belanda ini.

https://m.republika.co.id/amp/pyxqeb428

Tiga Komando Gabungan Wilayah Pertahanan TNI Diresmikan
a0cfbe6c465b5f28fa214b19db4b6eb4.jpg


PANGLIMA TNI Marsekal Hadi Tjahjanto meresmikan tiga Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) TNI. Acara digelar di Skadron 17 Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (27/9).

Dalam acara itu, Panglima TNI juga melantik 3 perwira tinggi yang ditunjuk sebagai pimpinan komando tersebut. Mereka yang dilantik ialah Panglima Kogabwilhan I Laksamana Muda Yudo Margono yang sebelumnya menjabat Panglima Koarmada I TNI AL, Panglima Kogabwilhan II Marsekal Muda Fadjar Prasetyo yang sebelumnya Panglima Komando Operasi I TNI AU, dan Panglima Kogabwilhan III Mayjen Ganip Warsito yang sebelumnya menjabat Asisten Operasi Panglima TNI.

"Kogabwilhan dibentukan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 2019 tentang Pembentukan Komando Gabungan Wilayah Petahanan dan Peningkatan Status 23 Komando Resort Militer dari tipe B menjadi tipe A," ujar Hadi.

Kogabwilhan merupakan komando utama operasi (Kotamaops) TNI yang dipimpin oleh perwira tinggi dan berkedudukan langsung di bawah Panglima TNI. Satuan baru tersebut bertugas sebagai penindak awal dan pemulih bila terjadi konflik di wilayahnya, termasuk operasi militer perang (OMP) maupun operasi militer selain perang (OMSP).

"Tugasnya juga sebagai penangkal bila terjadi ancaman dari luar dan dalam negeri di wilayahnya, dan pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan di wilayahnya yang dilaksanakan sesuai dengan kebijakan Panglima TNI," kata Hadi.

Wilayah operasi Kogabwilhan dibagi dalam tiga wilayah pertahanan. Rinciannya, Kogabwilhan I meliputi wilayah darat yaitu Sumatera, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, DKI, Jawa Barat dan Banten. Wilayah Laut: perairan di sekitar Sumatera, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, DKI, Jawa Barat, Banten dan ALKI-1 beserta perairan sekitarnya. Wilayah udara: wilayah di atas Sumatera, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, DKI, Jawa Barat, Banten dan ALKI-1 beserta perairan sekitarnya. Markas komando berkedudukan di Tanjung Pinang.

Sementara wilayah Kogabwilhan II meliputi wilayah darat: Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT. Wilayah Laut: perairan di sekitar Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT dan ALKI-2 serta ALKI-3a beserta perairan sekitarnya. Wilayah udara: wilayah di atas Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT dan ALKI-2 serta ALKI-3a beserta perairan sekitarnya. Markas Komando berkedudukan di Balikpapan.

Adapun wilayah Kogabwilhan III meliputi wilayah, darat: Maluku, Maluku Utara, Papua. Wilayah Laut: Perairan di sekitar Maluku, Maluku Utara, Papua dan ALKI-3b dan 3c beserta perairan sekitarnya. Wilayah udara: wilayah di atas Maluku, Maluku Utara, Papua dan ALKI-3b dan 3c beserta perairan sekitarnya. Markas Komando berkedudukan di Biak.(OL-5)

https://m.mediaindonesia.com/read/d...do-gabungan-wilayah-pertahanan-tni-diresmikan
 
Bukan didatangkan, tapi mereka pd dasarnya udah ada (presence) di Jawa pd saat itu, itupun rata2x sukarela mereka bantu kemerdekaan (rata2x ada motif kepentingan pribadi sich). Kalau yg posisi di Eropa yach "diproses" ama sekutu
Kodam, kodim, Korem, Koramil, infantry laden command control and structure. Indonesian military district model is quite useful to nurture Nationalism, Enhance Government presence and policy even at the most remoted area and suppress the idea of rebellion and in contrast with State ideology. Mau tidak mau Indonesia military district model sukses mencegah proses Balkanisasi Nusantara, dari era Soekarno sampai reformasi dan juga itu terjadi hanya dalam tempo kurang dari satu abad. Padahal Indonesia itu terlalu beragam, dan topografi medannya paling sulit untuk membentuk negara kesatuan.
Terima kasih tanggapannya
 
i just recently see post about Mid Life Upgrade contract were given to thales & PT LEN for Bung tomo class modernization in WDZ fb page , is there any further info about this @Cromwell , i really hope TNI try the new aesa radar with gallium nitride tech the Thales NS100 or NS200 series , but if the one that get showed up is actually a domestic made radar that were helped by thales in the development , i'll be even more surprized .
 
i just recently see post about Mid Life Upgrade contract were given to thales & PT LEN for Bung tomo class modernization in WDZ fb page , is there any further info about this @Cromwell , i really hope TNI try the new aesa radar with gallium nitride tech the Thales NS100 or NS200 series , but if the one that get showed up is actually a domestic made radar that were helped by thales in the development , i'll be even more surprized .

i just recently see post about Mid Life Upgrade contract were given to thales & PT LEN for Bung tomo class modernization in WDZ fb page , is there any further info about this @Cromwell , i really hope TNI try the new aesa radar with gallium nitride tech the Thales NS100 or NS200 series , but if the one that get showed up is actually a domestic made radar that were helped by thales in the development , i'll be even more surprized .
NS100/200? I preffered smart L aesa tbh
 
do you want the radar mast in bung tomo class collapse ? SMART-L are too big and heavy for such corvette
Sorry I didn't noticed that you type bung tomo class right there,but isn't NS100/200 is too overkill for that kind of ship? But yeah if thales using ns100/200 for domestic made radar and smart l GB for ground based one masa depan kohanudnas & LEN auto cerah
 
Cool history read
https://tirto.id/wafatnya-laksamana-mas-pardi-sejarah-bapak-angkatan-laut-ri-egdN

Wafatnya Laksamana Mas Pardi: Sejarah Bapak Angkatan Laut RI Penulis: Petrik Matanasi 13 Agustus 2019 Laksamana Mas Pardi adalah orang pertama dalam sejarah Indonesia yang mengemban jabatan tertinggi di Angkatan Laut RI. tirto.id - Laksamana Mas Pardi adalah pendiri sekaligus pemimpin pertama Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut Republik Indonesia yang merupakan cikal-bakal sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL). Maka, tidak berlebihan jika gelar Bapak Angkatan Laut RI disematkan kepadanya. Pembentukan BKR, termasuk untuk divisi laut, diputuskan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 22 Agustus 1945. Sehari kemudian, dikutip dari buku Sejarah TNI Jilid 1: 1945-1949 (2000) terbitan Markas Besar TNI, Presiden Sukarno mengesahkan institusi yang bertugas memelihara keamanan ini. “Organisasi militer ini [BKR Laut] berdiri dengan disahkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat [KNIP] pada 10 September 1945 dengan pimpinan Mas Pardi,” demikian yang tertulis dalam buku Sejarah Pendidikan Perwira TNI Angkatan Laut 1945-1950 (1982) karya Masfar R. dan kawan-kawan. Tanggal 10 September 1945 itulah momen diubahnya nama BKR Laut menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Laut, sebelum disebut Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Mas Pardi dianggap sebagai orang meletakkan sendi-sendi ALRI. Hingga kini, setiap tanggal 10 September diperingati sebagai Hari Angkatan Laut. Baca juga: Sejarah TNI yang Kelahirannya Sempat Tak Direstui Bapak Ilmu Pelayaran Mas Pardi menempati jabatan tertinggi sebagai Kepala Staf Umum TKR Laut sejak November 1946 hingga Februari 1946. Dalam waktu yang relatif singkat itu, sosok kelahiran Ambarawa tanggal 1 Oktober 1901 ini dianggap berhasil meletakkan sendi-sendi keilmuan dan teknik pelayaran untuk para personil ALRI kala itu. Berkat jasanya tersebut, Laksmana Mas Pardi kerap disebut sebagai Bapak Ilmu Pelayaran Indonesia. Namun, namanya seringkali dibanding-bandingkan dengan Amanna Gappa yang hidup pada masa peralihan abad ke-17 dan 18 Masehi. Christian Pelras dalam Manusia Bugis (2006) mengungkapkan, Amanna Gappa adalah kepala komunitas Wajo di Makassar, Sulawesi Selatan, antara tahun 1697 hingga 1723. Ahli pelayaran Bugis inilah yang menyusun kitab pelayaran niaga. Kitab ini mengatur tentang berbagai hal tentang pelayaran, termasuk soal tarif muatan antar pulau-pulau di Nusantara serta tentu saja paparan mengenai tugas juru mudi dan juru batu, syarat kapten kapal, pembagian untung antara awak dan kapten kapal, bahkan juga terkait utang-piutang. Lantas, siapakah yang pantas menyandang gelar Bapak Ilmu Pelayaran Indonesia? Pastinya, baik Amanna Gappa maupun Mas Pardi sama-sama layak, hanya berbeda zaman saja. Untuk Mas Pardi, setidaknya dirinyalah yang menanamkan pengetahuan dasar dan berbagai teknik pelayaran di era yang lebih modern atau ketika Indonesia sudah berdiri menjadi negara sendiri. Terlebih, Mas Pardi adalah perintis Angkatan Laut Indonesia yang cakupannya lebih luas. Laksamana Mas Pardi berjasa besar dalam menanamkan pendidikan kelautan Indonesia di era modern. Tak hanya merintis BKR Laut atau yang kemudian menjadi ALRI, ia juga pendiri Sekolah Pelayaran di Semarang, Akademi Ilmu Pelayaran di Jakarta, serta Akademi Angkatan Laut Indonesia. Selain itu, Mas Pardi juga menyusun beberapa buku tentang lmu pelayaran, di antaranya berjudul Kuasailah Lautan Indonesia (1951), Peladjaran Ilmu Pasang (1963), Almanak Nautika (1965), dan lainnya. Baca juga: Saat Angkatan Laut RI Berjuang Tanpa Kapal Perang Jejak Sejarah Mas Pardi Menurut catatan J. P. Nieborg dalam Indie en de Zee: De Opleiding tot Zeeman in Nederlands-Indie 1743-1962 (1989), Mas Pardi sudah akrab dengan sektor kelautan sejak zaman kolonial. Ia termasuk perwira kapal di armada laut Hindia Belanda. Kepingan jejak riwayat Mas Pardi dicatat Des Alwi dalam buku Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon (2005). Di Fommelhaut, kapal milik Belanda, yang sering berlayar di sekitar Indonesia bagian timur, termasuk ke Boven Digoel (Papua), ada seorang mualim atau perwira kapal kelas satu bernama Mas Pardi. “Usianya lebih tua daripada nakhoda Kapal Formalhout,” tulis Des Alwi. “Karena M. Pardi seorang inlander [pribumi],” lanjutnya, “maka ia tidak memiliki peluang untuk menjadi nakhoda kapal tersebut.” Fommelhaut pernah membawa Soetan Sjahrir dan Mohammad Hatta dari Boven Digoel ke Banda Neira pada Februari 1936 saat keduanya menjalani hukuman. Ketika Fommelhaut berlabuh di Banda Neira, terdengar perintah kapten kapal kepada anak buahnya untuk mengangkut barang-barang milik Sjahrir dan Hatta. Baca juga: Pembantaian Orang-Orang Banda Namun, seorang kontrolir (pengawas) yang orang Belanda menyela perintah itu. “Apa?! Biarlah orang-orang Merah itu mengangkat barang mereka!” Pada saat itulah Mas Pardi ikut bicara. “Biarlah saya perintahkan kepada matros [kelasi] saya untuk mengangkat barang-barang itu,” ucapnya, dikutip dari Sjahrir: Wajah Seorang Diplomat (1990) karya Solichin Salam. De Indische Courant edisi 18 Mei 1936) memuat warta bahwa Mas Pardi sempat berdinas di kapal pemerintah kolonial sebagai mualim kelas satu di bawah pimpinan nahkoda yang bernama C. de Neef. Mualim kelas dua di kapal itu adalah J.P.J de Groot, seorang Belanda yang juga seperti kapten. Ensiklopedia Umum (1993) terbitan Kanisius menyebut Mas Pardi sebagai “satu-satunya anak Bumiputera yang memperoleh kesempatan naik agak tinggi pada tangga kepegawaian bidang maritim. Menjelang runtuhnya Hindia Belanda, ia ditempatkan di Kantor Pusat Dienst van Scheepvaart [Dinas Perkapalan].” Selama masa pendudukan Jepang sejak 1942, Mas Pardi tetap berkiprah di ranah kelautan hingga Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan RI disambut Mas Pardi dengan menggalang para pelaut, baik yang pernah berdinas di Koninklijk Marine (Angkatan Laut Belanda) maupun mantan didikan Jepang atau bekas Kaigun Heiho (Pembantu Militer Angkatan Laut Jepang). Mas Pardi menghimpun para pelaut itu untuk membentuk BKR Laut atau yang kemudian menjadi TNI Angkatan Laut. Laksamana Mas Pardi wafat pada 13 Agustus 1968, dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang. Atas jasa besar serta perjuangannya, Pemerintah RI memberinya penghargaan Bintang Gerilya dan Piagam Tanda Jasa Pahlawan. Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi (tirto.id - pet/isw) Penulis: Petrik Matanasi Editor: Iswara N Raditya

Baca selengkapnya di artikel "Wafatnya Laksamana Mas Pardi: Sejarah Bapak Angkatan Laut RI", https://tirto.id/egdN.
 

^^^ Noticed the nose art is different. The "eye" is now with an eyebrow and looks more intimidating than before.
honestly , if they stay with the "happy" eyes , it can resemble as a psychopathic shark which actually more terrifying :cheesy:.

by the way i just strolled at UK defence forum lately , and i see this thing
SC-130J_Sea_herc_DSEI_2015_news_1.jpg

SC-130J_Sea_herc_DSEI_2015_news_4.jpg

Sea+Herc.jpg

SC-130J Sea Hercules , lockheed offered this to UK as "cost effective" option for their MPA fleet replacement , if this was indeed "cost effective" could this actually become another option beside the P-8 for us ??
 
i just recently see post about Mid Life Upgrade contract were given to thales & PT LEN for Bung tomo class modernization in WDZ fb page , is there any further info about this @Cromwell , i really hope TNI try the new aesa radar with gallium nitride tech the Thales NS100 or NS200 series , but if the one that get showed up is actually a domestic made radar that were helped by thales in the development , i'll be even more surprized .
No surprise it's been planned since years before. For certain there would be standard TACTICOS CMS for all major combatant surface vessels including Bung Tomo Class, FCS for new SR-SAM VLS, surveillance radar, new fire control radar, idk about NS100 or NS200 but i've heard rumour about Smart-S Mk.II i'm not sure though.
 
Back
Top Bottom