What's new

Indonesia Defence Forum

Two wrongs don't make a right.

Either way, that isn't the point. The reality is that like it or not, the US has a vested interest in this country. And it is the an opinion shared by a lot of actual defense think tanks like RAND.
LOL kind of US dictatorship here

You baca pasal yg dituduhkan ke kita tanya orang hukum, bener pasal war crime atau pasal yg lain salah tuduh bangsa sendiri bijimane
 
Last edited:
Awal2 2004 dn 2009 (pengamatan bocah) dlu multi partai kerasa gada koalisi2 atau apa2
Yg skrg lbh berkubu2 wkwkk
Atau arah politik turki ya byk partai tpi berkumpul jd 1 koalisi A vs B

Karna waktu awal2x di tahun2x tsb masih belum terbaca "political landscape" nya. Kalau sekarang sudah kebaca jadi strateginya menyesuaikan juga dgn acara bikin koalisi
 
Closing night garuda shield 2019


70014035_1248682405314178_146728091559919616_o.jpg
69705034_1248680991980986_2267147363921428480_o.jpg
69788912_1248680891980996_1034662440559706112_o.jpg
69969762_1248680628647689_6409615167402803200_o.jpg
68846504_1248680125314406_7091820836327260160_o.jpg
69868648_1248680101981075_1637003145370402816_o.jpg
69474458_1248680111981074_185174903626924032_o.jpg
69803885_1248680041981081_4686186667172691968_o.jpg


Racikan setannya dikeluarin lagi

:woot::woot::woot:
 
66709374_217430662568802_3019894009507086336_n.jpg


Edisi langsung ketilang

http://ramalanintelijen.net/bintang...kwlS8eiBVu0EuAxUG7MQ_KcGbO2IV1SQa6AAYqsUHeBdU

West Papua tension assesment according to Air Vice Marshal Prayitno Ramelan ( retired )
Still domain policy

Siapa yg tergantung kepada siapa maka dia menjadi domain dari si pemberi
 
http://ramalanintelijen.net/bintang...kwlS8eiBVu0EuAxUG7MQ_KcGbO2IV1SQa6AAYqsUHeBdU

West Papua tension assesment according to Air Vice Marshal Prayitno Ramelan ( retired )
Ada beberapa catatan di sy, bbrp bln lalu ada pernyataan/masukan sby ke pres tentang perlunya lebih memperhatikan hub luar negri. Juli kmrn menlu Sing datang ke sby mengucapkan bela sungkawa dgn formasi yg lumayan komplit utk hanya sekedar ucapan duka langsung. Seperti ada pesan tersendiri dibalik 2 kejadian itu. Tulisan diatas tersirat ada perkataan penasihat AS yg mungkin bikin kesal pres. Sy rasa bukan investasi china duduk perkaranya, tp hal diatas. Jujur ada yg janggal di bbrp hal seperti pak wir yg ke rusky terakhir bukan pak rr, "lupa" masukin aggaran fx dan bbrp hal lain. Entah ada apa dibalik itu semua tp tulisan diatas jg seperti dibalut sesuatu yg terlalu spekulatif dan bisa menjadi bola liar bila dijabarkan.

Tp sy setuju dgn pak sby, pres kita harus lebih aktif dalam hal hub luar negri. Kalo sy lihat tidak banyak yg bisa bikin pres marah, salah satunya kedaulatan. Cara bicara bule sama jawir memang beda, yg satu nyeplos yg satu jaga perasaan. Mungkin ini yg bikin korslet :D

Tp positif thinking aja, terlalu riskan untuk bikin kita ga stabil di kawasan.
 
Indonesian forest ranger units aka Polisi Hutan or jagawana, they are not part of Police department although there is polisi word on their occupation. Jagawana is part of ministry of forestry, there is around 7000 of them to protect and preserved around 125 million hectare forest area in Indonesia.

https://mediaindonesia.com/read/detail/248970-personel-polisi-hutan-masih-minim

Jagawana or forest ranger is a paramilitary units without doubt as they being trained in line with military and police sylabus including on how to do long tracking in thick jungle, fighting with firearms in units and uphold law in their area of operation. Forest ranger in Indonesia using three kind of firearms, first Pindad PM1A1, then Cz 83 and VEPR 12 shot gun

44qwr.jpg
Perburuan-Senpi-dan-Pembakaran-Hutan-10.jpg
Perburuan-Senpi-dan-Pembakaran-Hutan-5.jpg
sporc-brigade-bekantan_20180416_161437.jpg
POLHUT.jpg

2_31.jpg
img_0040.jpg
petugas-polisi-hutan-polhut-melakukan-razia_20180523_191121.jpg
Kesamaptaan-1.jpg
 
We need kind of this tech not only more less expensive than satelite and is no harm for flight route because comercial planes flight on routes or straight drawing line of flight path in altitude and line, so this is a breakthrough for our future infrastruktur langit
https://www.indomiliter.com/haps-ma...-inilah-tanggapan-dari-kohanudnas/#more-70699
HAPS Masuk Dalam Rencana Strategis Kemenko Polhukam, Inilah Tanggapan Dari Kohanudnas
indomiliter | 01/09/2019 | Berita Matra Udara, Berita Update Alutsista, Drone, Radar, Radio | 4 Comments
FacebookTwitterWhatsAppLineCopy LinkEmail

maxresdefault.jpg


Para pembaca yang budiman tentu pernah mendengar nama seperti pesawat tanpa awak NASA Helios, Facebook Aquila, Thales Stratobus, Airbus Zephyr sampai balon udara Google Loon. Kesemuanya adalah wahana yang dirancang untuk mengangkasa di ketinggian stratosfer, yaitu di rentang 15.000 – 40.000 meter di atas permukaan bumi. Seperti telah dikupas dalam beragam literasi, peran wahana-wahana tadi adalah untuk mendukung akses komunikasi dan data, khususnya di area-area yang kurang tersentuh akses broadband dari operator.

Baca juga: Kemhan Digugat Perusahaan Satelit Asal Inggris, Inilah Profil Satelit Artemis!

Dalam pengkategorian, wahana-wahana tadi disebut High Altitude Platform Station (HAPS), atau di Indonesia akrab disebut Wahaha Dirgantara Super. Meski nampak masih jauh dari implementasi, namun ternyata HAPS telah dilirik oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam).

Persisnya pada 26 Agutus 2019 di Bandung, telah digelar Forum Koordimasi dan Konsultasi Telekomunikasi dan Informatika yang mengangkat tema “Pemanfaaatan HAPS dalm Rangka Pertahanan dan Keamanan di Daera Terluar, Terpencil Serta Wilayah Perbatasan.”

mecklerphoto-4978.jpg

Balon udara “Loon” dari Google
Deputi VII Bidang Koordinasi Komunikasi, Infromasi dan Aparatur, Kementerian Politik Hukum dan Keamanan Marsda TNI Budi Rus Nurhadi Sutejo menyebut forum konsultasi ini bertujuan untuk mensosialisasikan penggunaan dan pemanfaatan teknologi pendukung HAPS untuk kepentingan jaringan aman mandiri dan dampaknya bagi perkembangan industri telekomunikasi dalam negeri.

Oleh beberapa panelis dipaparkan bahwa HAPS memiliki kemudahan dalam penempatan, fleksibilitas, biaya operasional rendah, delay propagasi rendah, sudut elevasi lebar dan cakupan relatif luas. Selain itu secara teknologi, HAPS memiliki potensi sebagai backbone komunikasi pita lebar untuk menjangkau daerah rural. Dan yang lebih penting HAPS dianggap tidak membahayakan lalu lintas penerbangan sipil karena berada pada posisi di atas batas ketinggian maksimal pesawat terbang komersil.

high-altitude-platform-systems-haps-amir-gilan-3-728.jpg


Meski punya sejumlah keunggulan, namun bukan berarti HAPS dirancang sebagai pengganti satelit. Lebih tepatnya, HAPS dapat mendukung konektivitas satelit. Pihak yang dapat memanfaatkannya pun bisa berimbang antara kebutuhan sipil dan militer.

Dari spesifikasi, HAPS yang ditempatkan di ketinggian stratosfer merupakan obyek stationer. Pada ketinggian stratosfer dicirikan dalam lingkungan yang low density, low temperature dan low wind.

index_pic_01.jpg


Karena berada di atas ketinggian teritori udara nasional, sudah barang tentu otoritas pertahanan udara wajib merespon setiap perkembangan yang bakal terjadi di masa mendatang. Asops Kaskohanudnas Kolonel Pnb. Yostariza mewakili Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Pangkohanudnas) dalam forum tersebut menyebutkan ada beberapa poin penting yang dapat disikapi terkait HAPS dalam persepektif Kohanudnas, persisnya pada unsur pengawasan dan pengamanan HAPS.

“Pada posisi stationer di stratosfer, keberadaan HAPS saat ini tidak dapat ditangkap oleh radar, oleh karena itu HAPS nantinya perlu dilengkapi transponder atau ADS-B (Automatic Dependent Surveillance-Broadcast). Dan dalam aspek pengamanan, Kohanudnas tidak memiiki alutsista yang dapat digunakan untuk melakukan penindakan di ketinggian lokasi HAPS,” ujar Yostariza.

stratobus_additionnel_1100x600-2_1_0.jpg

Thales Stratobus
Jika diasumsikan dalam pemantauan radar hanud sekelas Master-T, yang dikenal sebagai salah satu radar hanud tercanggih TNI AU (Kohanudnas) saat ini, maka jarak ketinggian deteksinya mencapai 100.000 kaki (30,48 km). Itu baru dalam aspek pengawasan.

Untuk peran perlindungan, jet tempur tentu punya keterbatasan operasional. Sebut saja Sukhoi Su-27/Su30 yang dioperasikan Skadron Udara 11, batas ketinggian terbangnya adalah 17,3 km. Belum lagi ada keterbatasan rudal hanud, seperti diketahui Indonesia sampai saat ini masih mengandalkan rudal hanud di kelas MANPADS SHORADS (Short Range Air Defence System) dengan ketinggian luncur rata-rata mentok di 5.000 meteran.

Lepas dari persepktif pertahanan, implementasi NAPS boleh dibilang masih cukup panjang. Guru Besar Hukum Udara dan Antariksa Universtitas Atma Jaya, Prof Dr. IBR Supancana berpendapat, “lepas dari beberapa kelebihan yang dutawarkan, HAPS secara teknologi belum matang dan terbukti (proven), belum lagi isu regulasi yang kompleks dan cakupan (coverage) dari HAPS terbatas.”

Baca juga: Northtrop Grumman MQ-4C Triton – Drone Intai Maritim HALE, Pengganti P-3C Orion Australia

Meski begitu, apa yang dilakukan militer Amerika Serikat dengan RQ-4 Global Hawk sejatinya sudah masuk dalam pelaksanaan HAPS secara ‘terbatas.” Global Hawk yang masuk kualifikasi drone HALE (High Altitude Long Endurance) dapat terbang di ketinggian 18 km dalam endurance selama 3 hari. Pekerjaan rumah kedepan dalam implementasi HAPS yaitu penyediaan pasokan tenaga (solar cell) agar wahana HAPS dapat mengangkasa dalam durasi yang panjang. (Haryo Adjie)
 
We need kind of this tech not only more less expensive than satelite and is no harm for flight route because comercial planes flight on routes or straight drawing line of flight path in altitude and line, so this is a breakthrough for our future infrastruktur langit
https://www.indomiliter.com/haps-ma...-inilah-tanggapan-dari-kohanudnas/#more-70699
HAPS Masuk Dalam Rencana Strategis Kemenko Polhukam, Inilah Tanggapan Dari Kohanudnas
indomiliter | 01/09/2019 | Berita Matra Udara, Berita Update Alutsista, Drone, Radar, Radio | 4 Comments
FacebookTwitterWhatsAppLineCopy LinkEmail

maxresdefault.jpg


Para pembaca yang budiman tentu pernah mendengar nama seperti pesawat tanpa awak NASA Helios, Facebook Aquila, Thales Stratobus, Airbus Zephyr sampai balon udara Google Loon. Kesemuanya adalah wahana yang dirancang untuk mengangkasa di ketinggian stratosfer, yaitu di rentang 15.000 – 40.000 meter di atas permukaan bumi. Seperti telah dikupas dalam beragam literasi, peran wahana-wahana tadi adalah untuk mendukung akses komunikasi dan data, khususnya di area-area yang kurang tersentuh akses broadband dari operator.

Baca juga: Kemhan Digugat Perusahaan Satelit Asal Inggris, Inilah Profil Satelit Artemis!

Dalam pengkategorian, wahana-wahana tadi disebut High Altitude Platform Station (HAPS), atau di Indonesia akrab disebut Wahaha Dirgantara Super. Meski nampak masih jauh dari implementasi, namun ternyata HAPS telah dilirik oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam).

Persisnya pada 26 Agutus 2019 di Bandung, telah digelar Forum Koordimasi dan Konsultasi Telekomunikasi dan Informatika yang mengangkat tema “Pemanfaaatan HAPS dalm Rangka Pertahanan dan Keamanan di Daera Terluar, Terpencil Serta Wilayah Perbatasan.”

mecklerphoto-4978.jpg

Balon udara “Loon” dari Google
Deputi VII Bidang Koordinasi Komunikasi, Infromasi dan Aparatur, Kementerian Politik Hukum dan Keamanan Marsda TNI Budi Rus Nurhadi Sutejo menyebut forum konsultasi ini bertujuan untuk mensosialisasikan penggunaan dan pemanfaatan teknologi pendukung HAPS untuk kepentingan jaringan aman mandiri dan dampaknya bagi perkembangan industri telekomunikasi dalam negeri.

Oleh beberapa panelis dipaparkan bahwa HAPS memiliki kemudahan dalam penempatan, fleksibilitas, biaya operasional rendah, delay propagasi rendah, sudut elevasi lebar dan cakupan relatif luas. Selain itu secara teknologi, HAPS memiliki potensi sebagai backbone komunikasi pita lebar untuk menjangkau daerah rural. Dan yang lebih penting HAPS dianggap tidak membahayakan lalu lintas penerbangan sipil karena berada pada posisi di atas batas ketinggian maksimal pesawat terbang komersil.

high-altitude-platform-systems-haps-amir-gilan-3-728.jpg


Meski punya sejumlah keunggulan, namun bukan berarti HAPS dirancang sebagai pengganti satelit. Lebih tepatnya, HAPS dapat mendukung konektivitas satelit. Pihak yang dapat memanfaatkannya pun bisa berimbang antara kebutuhan sipil dan militer.

Dari spesifikasi, HAPS yang ditempatkan di ketinggian stratosfer merupakan obyek stationer. Pada ketinggian stratosfer dicirikan dalam lingkungan yang low density, low temperature dan low wind.

index_pic_01.jpg


Karena berada di atas ketinggian teritori udara nasional, sudah barang tentu otoritas pertahanan udara wajib merespon setiap perkembangan yang bakal terjadi di masa mendatang. Asops Kaskohanudnas Kolonel Pnb. Yostariza mewakili Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Pangkohanudnas) dalam forum tersebut menyebutkan ada beberapa poin penting yang dapat disikapi terkait HAPS dalam persepektif Kohanudnas, persisnya pada unsur pengawasan dan pengamanan HAPS.

“Pada posisi stationer di stratosfer, keberadaan HAPS saat ini tidak dapat ditangkap oleh radar, oleh karena itu HAPS nantinya perlu dilengkapi transponder atau ADS-B (Automatic Dependent Surveillance-Broadcast). Dan dalam aspek pengamanan, Kohanudnas tidak memiiki alutsista yang dapat digunakan untuk melakukan penindakan di ketinggian lokasi HAPS,” ujar Yostariza.

stratobus_additionnel_1100x600-2_1_0.jpg

Thales Stratobus
Jika diasumsikan dalam pemantauan radar hanud sekelas Master-T, yang dikenal sebagai salah satu radar hanud tercanggih TNI AU (Kohanudnas) saat ini, maka jarak ketinggian deteksinya mencapai 100.000 kaki (30,48 km). Itu baru dalam aspek pengawasan.

Untuk peran perlindungan, jet tempur tentu punya keterbatasan operasional. Sebut saja Sukhoi Su-27/Su30 yang dioperasikan Skadron Udara 11, batas ketinggian terbangnya adalah 17,3 km. Belum lagi ada keterbatasan rudal hanud, seperti diketahui Indonesia sampai saat ini masih mengandalkan rudal hanud di kelas MANPADS SHORADS (Short Range Air Defence System) dengan ketinggian luncur rata-rata mentok di 5.000 meteran.

Lepas dari persepktif pertahanan, implementasi NAPS boleh dibilang masih cukup panjang. Guru Besar Hukum Udara dan Antariksa Universtitas Atma Jaya, Prof Dr. IBR Supancana berpendapat, “lepas dari beberapa kelebihan yang dutawarkan, HAPS secara teknologi belum matang dan terbukti (proven), belum lagi isu regulasi yang kompleks dan cakupan (coverage) dari HAPS terbatas.”

Baca juga: Northtrop Grumman MQ-4C Triton – Drone Intai Maritim HALE, Pengganti P-3C Orion Australia

Meski begitu, apa yang dilakukan militer Amerika Serikat dengan RQ-4 Global Hawk sejatinya sudah masuk dalam pelaksanaan HAPS secara ‘terbatas.” Global Hawk yang masuk kualifikasi drone HALE (High Altitude Long Endurance) dapat terbang di ketinggian 18 km dalam endurance selama 3 hari. Pekerjaan rumah kedepan dalam implementasi HAPS yaitu penyediaan pasokan tenaga (solar cell) agar wahana HAPS dapat mengangkasa dalam durasi yang panjang. (Haryo Adjie)
animation on how airbus zephyr HAPS will be used in warfare
 
Super_Hornet_Arsenal_Bird_Battle.jpg
We need kind of this tech not only more less expensive than satelite and is no harm for flight route because comercial planes flight on routes or straight drawing line of flight path in altitude and line, so this is a breakthrough for our future infrastruktur langit
https://www.indomiliter.com/haps-ma...-inilah-tanggapan-dari-kohanudnas/#more-70699
HAPS Masuk Dalam Rencana Strategis Kemenko Polhukam, Inilah Tanggapan Dari Kohanudnas
indomiliter | 01/09/2019 | Berita Matra Udara, Berita Update Alutsista, Drone, Radar, Radio | 4 Comments
FacebookTwitterWhatsAppLineCopy LinkEmail

maxresdefault.jpg


Para pembaca yang budiman tentu pernah mendengar nama seperti pesawat tanpa awak NASA Helios, Facebook Aquila, Thales Stratobus, Airbus Zephyr sampai balon udara Google Loon. Kesemuanya adalah wahana yang dirancang untuk mengangkasa di ketinggian stratosfer, yaitu di rentang 15.000 – 40.000 meter di atas permukaan bumi. Seperti telah dikupas dalam beragam literasi, peran wahana-wahana tadi adalah untuk mendukung akses komunikasi dan data, khususnya di area-area yang kurang tersentuh akses broadband dari operator.

Baca juga: Kemhan Digugat Perusahaan Satelit Asal Inggris, Inilah Profil Satelit Artemis!

Dalam pengkategorian, wahana-wahana tadi disebut High Altitude Platform Station (HAPS), atau di Indonesia akrab disebut Wahaha Dirgantara Super. Meski nampak masih jauh dari implementasi, namun ternyata HAPS telah dilirik oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam).

Persisnya pada 26 Agutus 2019 di Bandung, telah digelar Forum Koordimasi dan Konsultasi Telekomunikasi dan Informatika yang mengangkat tema “Pemanfaaatan HAPS dalm Rangka Pertahanan dan Keamanan di Daera Terluar, Terpencil Serta Wilayah Perbatasan.”

mecklerphoto-4978.jpg

Balon udara “Loon” dari Google
Deputi VII Bidang Koordinasi Komunikasi, Infromasi dan Aparatur, Kementerian Politik Hukum dan Keamanan Marsda TNI Budi Rus Nurhadi Sutejo menyebut forum konsultasi ini bertujuan untuk mensosialisasikan penggunaan dan pemanfaatan teknologi pendukung HAPS untuk kepentingan jaringan aman mandiri dan dampaknya bagi perkembangan industri telekomunikasi dalam negeri.

Oleh beberapa panelis dipaparkan bahwa HAPS memiliki kemudahan dalam penempatan, fleksibilitas, biaya operasional rendah, delay propagasi rendah, sudut elevasi lebar dan cakupan relatif luas. Selain itu secara teknologi, HAPS memiliki potensi sebagai backbone komunikasi pita lebar untuk menjangkau daerah rural. Dan yang lebih penting HAPS dianggap tidak membahayakan lalu lintas penerbangan sipil karena berada pada posisi di atas batas ketinggian maksimal pesawat terbang komersil.

high-altitude-platform-systems-haps-amir-gilan-3-728.jpg


Meski punya sejumlah keunggulan, namun bukan berarti HAPS dirancang sebagai pengganti satelit. Lebih tepatnya, HAPS dapat mendukung konektivitas satelit. Pihak yang dapat memanfaatkannya pun bisa berimbang antara kebutuhan sipil dan militer.

Dari spesifikasi, HAPS yang ditempatkan di ketinggian stratosfer merupakan obyek stationer. Pada ketinggian stratosfer dicirikan dalam lingkungan yang low density, low temperature dan low wind.

index_pic_01.jpg


Karena berada di atas ketinggian teritori udara nasional, sudah barang tentu otoritas pertahanan udara wajib merespon setiap perkembangan yang bakal terjadi di masa mendatang. Asops Kaskohanudnas Kolonel Pnb. Yostariza mewakili Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Pangkohanudnas) dalam forum tersebut menyebutkan ada beberapa poin penting yang dapat disikapi terkait HAPS dalam persepektif Kohanudnas, persisnya pada unsur pengawasan dan pengamanan HAPS.

“Pada posisi stationer di stratosfer, keberadaan HAPS saat ini tidak dapat ditangkap oleh radar, oleh karena itu HAPS nantinya perlu dilengkapi transponder atau ADS-B (Automatic Dependent Surveillance-Broadcast). Dan dalam aspek pengamanan, Kohanudnas tidak memiiki alutsista yang dapat digunakan untuk melakukan penindakan di ketinggian lokasi HAPS,” ujar Yostariza.

stratobus_additionnel_1100x600-2_1_0.jpg

Thales Stratobus
Jika diasumsikan dalam pemantauan radar hanud sekelas Master-T, yang dikenal sebagai salah satu radar hanud tercanggih TNI AU (Kohanudnas) saat ini, maka jarak ketinggian deteksinya mencapai 100.000 kaki (30,48 km). Itu baru dalam aspek pengawasan.

Untuk peran perlindungan, jet tempur tentu punya keterbatasan operasional. Sebut saja Sukhoi Su-27/Su30 yang dioperasikan Skadron Udara 11, batas ketinggian terbangnya adalah 17,3 km. Belum lagi ada keterbatasan rudal hanud, seperti diketahui Indonesia sampai saat ini masih mengandalkan rudal hanud di kelas MANPADS SHORADS (Short Range Air Defence System) dengan ketinggian luncur rata-rata mentok di 5.000 meteran.

Lepas dari persepktif pertahanan, implementasi NAPS boleh dibilang masih cukup panjang. Guru Besar Hukum Udara dan Antariksa Universtitas Atma Jaya, Prof Dr. IBR Supancana berpendapat, “lepas dari beberapa kelebihan yang dutawarkan, HAPS secara teknologi belum matang dan terbukti (proven), belum lagi isu regulasi yang kompleks dan cakupan (coverage) dari HAPS terbatas.”

Baca juga: Northtrop Grumman MQ-4C Triton – Drone Intai Maritim HALE, Pengganti P-3C Orion Australia

Meski begitu, apa yang dilakukan militer Amerika Serikat dengan RQ-4 Global Hawk sejatinya sudah masuk dalam pelaksanaan HAPS secara ‘terbatas.” Global Hawk yang masuk kualifikasi drone HALE (High Altitude Long Endurance) dapat terbang di ketinggian 18 km dalam endurance selama 3 hari. Pekerjaan rumah kedepan dalam implementasi HAPS yaitu penyediaan pasokan tenaga (solar cell) agar wahana HAPS dapat mengangkasa dalam durasi yang panjang. (Haryo Adjie)
Im imagining it as some kind of Arsenal Bird from ace combat series
 
Indonesian forest ranger units aka Polisi Hutan or jagawana, they are not part of Police department although there is polisi word on their occupation. Jagawana is part of ministry of forestry, there is around 7000 of them to protect and preserved around 125 million hectare forest area in Indonesia.

https://mediaindonesia.com/read/detail/248970-personel-polisi-hutan-masih-minim

Jagawana or forest ranger is a paramilitary units without doubt as they being trained in line with military and police sylabus including on how to do long tracking in thick jungle, fighting with firearms in units and uphold law in their area of operation. Forest ranger in Indonesia using three kind of firearms, first Pindad PM1A1, then Cz 83 and VEPR 12 shot gun

View attachment 576940 View attachment 576941 View attachment 576942 View attachment 576943 View attachment 576944
View attachment 576945 View attachment 576946 View attachment 576947 View attachment 576948

Jagawana carry finnish made valmet in 556
 
Whoa! The discussions still going strong here! :laugh::raise:
So if we put those patriot missile in our territories on behalf of the US are we considered out of politik bebas aktif? Coz most country whith patriot installed are mostly ally nations. Please pencerahannya

Depends on how the Patriot system is set up and used... If it's a stand alone system (only integrated to our own AD system), 100% under our own control, and is used only to defend our own skies, then it's not much different than using any other LR SAM system like the S400 or HQ-9... However if the Patriot system is also linked / integrated to the US AD system (perhaps as part of THAAD) and/or is also used as part of a collective defense (ex to defend Australia) then of course it's no longer 'Bebas Aktif'.. That level of cooperation and integration requires formal alliance between the participants with a clear treaty... which (AFAIK) we are not (..yet or ever..).

Btw india in modi gov more western aligned
Also india likely buy f18 for their navy (weird enough they operate 3 diff aircraft mig,rafael and f18??)

Or they are truly non block? Why many Indian proudly said WE ARE NON BLOCK NON ALIGNED MOVEMENT etc2........ many indian always promoted this

Well... at least with regards to their alutsista, they probably truly are the most Non block country in the world..! :laugh::laugh: For example, they have hardware from Europe (Rafale, Mirage, Jaguar, Hawks), Russia (Migs, Sukhois, Ilyushins), US (Poseidon, Apache, C-17s), Self-made (Tejas, Ballistic Missiles, Nuclear), Israel (UCAVs/UAVs, radars, missiles), etc... They have working military relations (and weapons) with all, but allied to none..

We are at conflict exactly when China draws " Nine Dash Line " overlaps our EEZ; the quiet moment we have now because they still solidify their holdings within WPS and EVS once they finish off with Philippines and Vietnam they'll go south; the next question should be asked when China starts being more assertive and unchecked when it regards to their ambitions implementing 1st, 2nd and later 3rd island chain, Why US should sacrifice itself for the sake of Asia ?

No one is asking the US to sacrifice itself for Asia, and the US won't have to either.. The obligations the US have is to their treaty allies in Asia (such as Japan, Sokor, Taiwan, Phil, Sing, Aus, NZ).. Those are the countries the US have to be prepared to 'sacrifice' for (and vice versa)... If the US wants to assist a non-ally, say Vietnam or RI or Myanmar, then it's not because they are willing to 'sacrifice', but simply to protect its own interests (economic, security, influence, other allies, etc).. We can be friendly with the US of course and also cooperate if it conforms with our strategic interest... but to sacrifice ourselves as missile fodder, or to link our defense solely with the US without any formal defense treaty is a big NO!

I still believe the best way for a country like us (non-aligned, bebas-aktif, no ally) is to diversify our weapons system from multiple suppliers/countries... can't risk putting all in one basket... Unless we can go all the way and become formal allies with someone, only then can we consider single source for all our defense needs... but then there's a real possibility we will become lax and neglect our TNI just like Phil..
laugh.gif
 
Last edited:
We need kind of this tech not only more less expensive than satelite and is no harm for flight route because comercial planes flight on routes or straight drawing line of flight path in altitude and line, so this is a breakthrough for our future infrastruktur langit
https://www.indomiliter.com/haps-ma...-inilah-tanggapan-dari-kohanudnas/#more-70699
HAPS Masuk Dalam Rencana Strategis Kemenko Polhukam, Inilah Tanggapan Dari Kohanudnas
indomiliter | 01/09/2019 | Berita Matra Udara, Berita Update Alutsista, Drone, Radar, Radio | 4 Comments
FacebookTwitterWhatsAppLineCopy LinkEmail

maxresdefault.jpg


Para pembaca yang budiman tentu pernah mendengar nama seperti pesawat tanpa awak NASA Helios, Facebook Aquila, Thales Stratobus, Airbus Zephyr sampai balon udara Google Loon. Kesemuanya adalah wahana yang dirancang untuk mengangkasa di ketinggian stratosfer, yaitu di rentang 15.000 – 40.000 meter di atas permukaan bumi. Seperti telah dikupas dalam beragam literasi, peran wahana-wahana tadi adalah untuk mendukung akses komunikasi dan data, khususnya di area-area yang kurang tersentuh akses broadband dari operator.

Baca juga: Kemhan Digugat Perusahaan Satelit Asal Inggris, Inilah Profil Satelit Artemis!

Dalam pengkategorian, wahana-wahana tadi disebut High Altitude Platform Station (HAPS), atau di Indonesia akrab disebut Wahaha Dirgantara Super. Meski nampak masih jauh dari implementasi, namun ternyata HAPS telah dilirik oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam).

Persisnya pada 26 Agutus 2019 di Bandung, telah digelar Forum Koordimasi dan Konsultasi Telekomunikasi dan Informatika yang mengangkat tema “Pemanfaaatan HAPS dalm Rangka Pertahanan dan Keamanan di Daera Terluar, Terpencil Serta Wilayah Perbatasan.”

mecklerphoto-4978.jpg

Balon udara “Loon” dari Google
Deputi VII Bidang Koordinasi Komunikasi, Infromasi dan Aparatur, Kementerian Politik Hukum dan Keamanan Marsda TNI Budi Rus Nurhadi Sutejo menyebut forum konsultasi ini bertujuan untuk mensosialisasikan penggunaan dan pemanfaatan teknologi pendukung HAPS untuk kepentingan jaringan aman mandiri dan dampaknya bagi perkembangan industri telekomunikasi dalam negeri.

Oleh beberapa panelis dipaparkan bahwa HAPS memiliki kemudahan dalam penempatan, fleksibilitas, biaya operasional rendah, delay propagasi rendah, sudut elevasi lebar dan cakupan relatif luas. Selain itu secara teknologi, HAPS memiliki potensi sebagai backbone komunikasi pita lebar untuk menjangkau daerah rural. Dan yang lebih penting HAPS dianggap tidak membahayakan lalu lintas penerbangan sipil karena berada pada posisi di atas batas ketinggian maksimal pesawat terbang komersil.

high-altitude-platform-systems-haps-amir-gilan-3-728.jpg


Meski punya sejumlah keunggulan, namun bukan berarti HAPS dirancang sebagai pengganti satelit. Lebih tepatnya, HAPS dapat mendukung konektivitas satelit. Pihak yang dapat memanfaatkannya pun bisa berimbang antara kebutuhan sipil dan militer.

Dari spesifikasi, HAPS yang ditempatkan di ketinggian stratosfer merupakan obyek stationer. Pada ketinggian stratosfer dicirikan dalam lingkungan yang low density, low temperature dan low wind.

animation on how airbus zephyr HAPS will be used in warfare

index_pic_01.jpg


Karena berada di atas ketinggian teritori udara nasional, sudah barang tentu otoritas pertahanan udara wajib merespon setiap perkembangan yang bakal terjadi di masa mendatang. Asops Kaskohanudnas Kolonel Pnb. Yostariza mewakili Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Pangkohanudnas) dalam forum tersebut menyebutkan ada beberapa poin penting yang dapat disikapi terkait HAPS dalam persepektif Kohanudnas, persisnya pada unsur pengawasan dan pengamanan HAPS.

“Pada posisi stationer di stratosfer, keberadaan HAPS saat ini tidak dapat ditangkap oleh radar, oleh karena itu HAPS nantinya perlu dilengkapi transponder atau ADS-B (Automatic Dependent Surveillance-Broadcast). Dan dalam aspek pengamanan, Kohanudnas tidak memiiki alutsista yang dapat digunakan untuk melakukan penindakan di ketinggian lokasi HAPS,” ujar Yostariza.

stratobus_additionnel_1100x600-2_1_0.jpg

Thales Stratobus
Jika diasumsikan dalam pemantauan radar hanud sekelas Master-T, yang dikenal sebagai salah satu radar hanud tercanggih TNI AU (Kohanudnas) saat ini, maka jarak ketinggian deteksinya mencapai 100.000 kaki (30,48 km). Itu baru dalam aspek pengawasan.

Untuk peran perlindungan, jet tempur tentu punya keterbatasan operasional. Sebut saja Sukhoi Su-27/Su30 yang dioperasikan Skadron Udara 11, batas ketinggian terbangnya adalah 17,3 km. Belum lagi ada keterbatasan rudal hanud, seperti diketahui Indonesia sampai saat ini masih mengandalkan rudal hanud di kelas MANPADS SHORADS (Short Range Air Defence System) dengan ketinggian luncur rata-rata mentok di 5.000 meteran.

Lepas dari persepktif pertahanan, implementasi NAPS boleh dibilang masih cukup panjang. Guru Besar Hukum Udara dan Antariksa Universtitas Atma Jaya, Prof Dr. IBR Supancana berpendapat, “lepas dari beberapa kelebihan yang dutawarkan, HAPS secara teknologi belum matang dan terbukti (proven), belum lagi isu regulasi yang kompleks dan cakupan (coverage) dari HAPS terbatas.”

Baca juga: Northtrop Grumman MQ-4C Triton – Drone Intai Maritim HALE, Pengganti P-3C Orion Australia

Meski begitu, apa yang dilakukan militer Amerika Serikat dengan RQ-4 Global Hawk sejatinya sudah masuk dalam pelaksanaan HAPS secara ‘terbatas.” Global Hawk yang masuk kualifikasi drone HALE (High Altitude Long Endurance) dapat terbang di ketinggian 18 km dalam endurance selama 3 hari. Pekerjaan rumah kedepan dalam implementasi HAPS yaitu penyediaan pasokan tenaga (solar cell) agar wahana HAPS dapat mengangkasa dalam durasi yang panjang. (Haryo Adjie)
Sees far, think big...thanks Government :smitten:

We can only wait the implementation of these idea tho...but at least we got the initiatives, from the ToT ambition to Thales SATRIA satellite to the "F-35 thing" to this HAPS idea. I must admit that they exceed my expectation of what things they are seeking to possess in the future, not only what necessary, but also what will come after it. I see a bright future ahead, but again it depends on the implementation and government's willingness to put these projects into priority. I wonder who are the people behind these ideas, i don't think Orba leftovers would even understand that concept, so it must be younger generation officers who proposed these ideas.

Whoa! The discussions still going strong here! :laugh::raise:


Depends on how the Patriot system is set up and used... If it's a stand alone system (only integrated to our own AD system), 100% under our own control, and is used only to defend our own skies, then it's not much different than using any other LR SAM system like the S400 or HQ-9... However if the Patriot system is also linked / integrated to the US AD system (perhaps as part of THAAD) and/or is also used as part of a collective defense (ex to defend Australia) then of course it's no longer 'Bebas Aktif'.. That level of cooperation and integration requires formal alliance between the participants with a clear treaty... which (AFAIK) we are not (..yet or ever..).



Well... at least with regards to their alutsista, they probably truly are the most Non block country in the world..! :laugh::laugh: For example, they have hardware from Europe (Rafale, Mirage, Jaguar, Hawks), Russia (Migs, Sukhois, Ilyushins), US (Poseidon, Apache, C-17s), Self-made (Tejas, Ballistic Missiles, Nuclear), Israel (UCAVs/UAVs, radars, missiles), etc... They have working military relations (and weapons) with all, but allied to none..



No one is asking the US to sacrifice itself for Asia, and the US won't have to either.. The obligations the US have is to their treaty allies in Asia (such as Japan, Sokor, Taiwan, Phil, Sing, Aus, NZ).. Those are the countries the US have to be prepared to 'sacrifice' for (and vice versa)... If the US wants to assist a non-ally, say Vietnam or RI or Myanmar, then it's not because they are willing to 'sacrifice', but simply to protect its own interests (economic, security, influence, other allies, etc).. We can be friendly with the US of course and also cooperate if it conforms with our strategic interest... but to sacrifice ourselves as missile fodder, or to link our defense solely with the US without any formal defense treaty is a big NO!

I still believe the best way for a country like us (non-aligned, bebas-aktif, no ally) is to diversify our weapons system from multiple suppliers/countries... can't risk putting all in one basket... Unless we can go all the way and become formal allies with someone, only then can we consider single source for all our defense needs... but then there's a real possibility we will become lax and neglect our TNI just like Phil..
laugh.gif
Taming these Europeans could be the best go for us, Airbus, Thales etc... could provide almost all the technology that we are looking for, but with the cons that they are ridiculously expensive, but the plus is that often the Europeans will shut their Liberal ideas if they are really into the business, especially the French, they are less inclined to care about how their weapons are used by customer, compared to the hypocritical Brits. If we could solve this Palm Oil problem and getting a bigger slice on Airbus' orders, perhaps we could open up an opportunity to get as much techs as possible to narrow the technological gap, without relying too much on the American and Russian (also the Chinese).
 
Sees far, think big...thanks Government :smitten:

We can only wait the implementation of these idea tho...but at least we got the initiatives, from the ToT ambition to Thales SATRIA satellite to the "F-35 thing" to this HAPS idea. I must admit that they exceed my expectation of what things they are seeking to possess in the future, not only what necessary, but also what will come after it. I see a bright future ahead, but again it depends on the implementation and government's willingness to put these projects into priority. I wonder who are the people behind these ideas, i don't think Orba leftovers would even understand that concept, so it must be younger generation officers who proposed these ideas.


Taming these Europeans could be the best go for us, Airbus, Thales etc... could provide almost all the technology that we are looking for, but with the cons that they are ridiculously expensive, but the plus is that often the Europeans will shut their Liberal ideas if they are really into the business, especially the French, they are less inclined to care about how their weapons are used by customer, compared to the hypocritical Brits. If we could solve this Palm Oil problem and getting a bigger slice on Airbus' orders, perhaps we could open up an opportunity to get as much techs as possible to narrow the technological gap, without relying too much on the American and Russian (also the Chinese).


Our Hawk cockpit get slammed by some brits libertard. Because Tmor timur cause. After that event brits put pressure on us.

Hmm we must follow Indian way to develop inhan but it is huge of money
 
Whoa! The discussions still going strong here! :laugh::raise:


Depends on how the Patriot system is set up and used... If it's a stand alone system (only integrated to our own AD system), 100% under our own control, and is used only to defend our own skies, then it's not much different than using any other LR SAM system like the S400 or HQ-9... However if the Patriot system is also linked / integrated to the US AD system (perhaps as part of THAAD) and/or is also used as part of a collective defense (ex to defend Australia) then of course it's no longer 'Bebas Aktif'.. That level of cooperation and integration requires formal alliance between the participants with a clear treaty... which (AFAIK) we are not (..yet or ever..).



Well... at least with regards to their alutsista, they probably truly are the most Non block country in the world..! :laugh::laugh: For example, they have hardware from Europe (Rafale, Mirage, Jaguar, Hawks), Russia (Migs, Sukhois, Ilyushins), US (Poseidon, Apache, C-17s), Self-made (Tejas, Ballistic Missiles, Nuclear), Israel (UCAVs/UAVs, radars, missiles), etc... They have working military relations (and weapons) with all, but allied to none..



No one is asking the US to sacrifice itself for Asia, and the US won't have to either.. The obligations the US have is to their treaty allies in Asia (such as Japan, Sokor, Taiwan, Phil, Sing, Aus, NZ).. Those are the countries the US have to be prepared to 'sacrifice' for (and vice versa)... If the US wants to assist a non-ally, say Vietnam or RI or Myanmar, then it's not because they are willing to 'sacrifice', but simply to protect its own interests (economic, security, influence, other allies, etc).. We can be friendly with the US of course and also cooperate if it conforms with our strategic interest... but to sacrifice ourselves as missile fodder, or to link our defense solely with the US without any formal defense treaty is a big NO!

I still believe the best way for a country like us (non-aligned, bebas-aktif, no ally) is to diversify our weapons system from multiple suppliers/countries... can't risk putting all in one basket... Unless we can go all the way and become formal allies with someone, only then can we consider single source for all our defense needs... but then there's a real possibility we will become lax and neglect our TNI just like Phil..
laugh.gif
There's no request from US to ask Indonesia to sacrifice ourself as US " missile fodder " yet despite " noone asking " US to sacrifice itself for Asia " well basically every diplomats in Asia especially in East & Southeast Asia either countries with MDT or not, they expect US to carry FONOPS or exercise their military in face from countries politically hostile to them yet too powerfull ( namely China, North Korea, etc ) in return US will of course request their cooperation in exchange for US unending supports in Asia through Indo Pacific policies; however that cooperation between Asian countries and US will give birth to various joint military exercises which will make easier should they use the same equipments, doctrines, training, etc. There US foreign policies and arms vendors will create friendly environments in order those Asian countries use their products and i don't think arms procurement policies is something any members here can intervene, some works in defense equipments companies can do lobby but nothing much. Despite " multiple suppliers " policies we've been doing, vast majority, not just some but vast majority of our equipments are NATO based and even our local made even has US made contents like CN-235 which use GE engines, so i do think our defense policies with US will always be different.

Our Hawk cockpit get slammed by some brits libertard. Because Tmor timur cause. After that event brits put pressure on us.

Hmm we must follow Indian way to develop inhan but it is huge of money
You confuse yourself on Britain's politics. That John Blair administration in 1999 which sentenced us military embargo most certainly " not libertard " they are Labour Party not Liberal Democrat Party

Indonesian Ambassador to Denmark; Mr Ibnu Said discussing ship building cooperation plan with PT.PAL
69591259_785703971832959_2153215054223245312_n.jpg
69509854_785704001832956_8129267459371827200_n.jpg
69510605_785704058499617_5199811678568448000_n.jpg

Credit to World Defense Zone
 
Back
Top Bottom