What's new

Indonesia Aerospace Forum

n219-1.jpg


n219-2.jpg
 
Len Success in Developing Satellite Communications Systems for Navy

Bandung (8/11) -
PT Len Industri (Persero) has cemented its position as one of the state Strategic supply defense electronics equipment, especially for providers of communications device or system. Latest, Len successfully developed Siskomsat (Satellite Communication System) which has now been used by the Navy.

Len-Siskomsat-Sistem-Komunikasi-Satelit-TNI-AL.jpg


[Caption: Kasal (holding microphone) and CEO Len, Abraham Mose (black coat) tries communication tool most owned by the Navy to communicate with some elements KRI running and some ZIP Navy located in the outer islands Indonesia. - SumberFoto: Koarmatim Navy]


The system was inaugurated by the Chief of Naval Staff (Kasal) Admiral Ade Supandi, SE, MAP in Koarmatim Ujung, Surabaya, Monday (7/12) at the Panti Fleet. Siskomsat is a sophisticated modern communication systems in the Navy era now.

In the implementation phase, the Navy has worked with Len in the technical planning stage, the stage of development of the software, the installation phase and system integration, to the procurement of hardware.

Abraham Mose said, "among Software being developed by PT Len is software used in radar equipment, camera surveillance / observation, Automatic Identification System (AIS)receiver, which is independently developed by the engineers in the country and are owned by Len".

According to Kasal, in modern naval warfare, military communications technology largely determines the success of an operation. The development of information and communication technology requires the implementation of an increasingly complex operating title which guarantees smooth communication establishment, resilient, secure and reliable.

Kasal continue, current communication system ( before using satellite) within the Armed Forces both for onshore and warship (KRI) that uses radio device HF, VHF, and UHF, has limitations in its operation because it has a low data rate .

Additionally Navy is also cooperated with PT Telkom for the provision of backbone telecommunications. Siskomsat uses BRIsat Communication Satellite (satellite belonging to BRI), which has been orbiting since October 2015.


Able to Improve Operating Performance of the Navy

This system is realized in two activities: (1) Development Siskomsat Navy with Backbone C Band for the establishment of land and (2) Siskomsat Backbone of the Navy with Ku-Band for KRI.

"Application Siskomsat in pendirat and KRI of beater elements are expected to improve the operating performance of the Navy's to be world-class one," said Kasal Admiral Ade Supandi, SE, MAP

Siskomsat will be applied for the assignment of soldiers who served in the outer islands, surveillance, mobiletrunking, and backpack soldier Marine Corps. For the use of surveillance / observation, radar facilities Siskomsat equipped devices, cameras, Automatic Identification System(AIS), PSTN, and E-mail. For mobile trunking,Siskomsat vehicles equipped with devices Very Short Aperture Terminal (VSAT) and repeaters. And for applications backpack forces the Marine Corps, Siskomsat equipped with e-mail, PSTN and HT-based Internet Protocol (IP).

While Siskomsat Navy with Backbone KU-Band, applied to the KRI elements so that hitters Command and Control Operations can be carried out directly by the leadership to the perpetrators of the operation. Siskomsat on KRI has facilities in the form of data, PSTN and Visual Communications (Vicom) and equipped with a camera, radar and Automatic Identification System (AIS)Transponder. This year, Siskomsat with Backbone installed in the KU-Band Multi-Role Light Frigate Aaron Usman KRI-359 and corvettes KRI Sultan Iskandar Muda-367.


Regards,

Corporate Communications Section

PT Len Industri (Persero/ State Owned Enterprises)

Automatic translation with some fixing from me

Len Sukses Kembangkan Sistem Komunikasi Satelit untuk TNI AL
 
Malaysia ordering 8 unit of N219.

Delapan Unit Pesawat N219 Buatan PTDI Dipesan Malaysia

462607_620.jpg

Pesawat N219 di hanggar PT Dirgantara Indonesia, Bandung. TEMPO/Prima Mulia

TEMPO.CO, Bandung - Direktur Utama PT Air Born Indonesia Rull De Leon Nacachi mengatakan, perusahaannya sudah memesan delapan unit N219 rancangan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) dan PT Dirgantara Indonesia. “Kami sudah menandatangani LoI (Letter Of Intent), dan harganya sudah kami sepakati, dan itu kompetitif,” kata dia di sela perkenalan perdana fisik N219 di hanggar kompleks PT Dirgantara Indonesia atau PT DI di Bandung, Kamis, 10 Desember 2015.

Rull mengatakan, perusahaannya yang bermodal patungan dengan investor Malaysia, berbisnis dengan menyewakan pesawat charter dan layanan penerbangan perintis untuk usaha pertambangan, saat ini memiliki enam pesawat jenis Twin Otter. Pesawat N219 itu rencananya akan mengganti semua armada pesawat mereka di Indonesia.

Menurut Rull, N219 yang dipasarkan sekitar US$ 5 juta, terhitung murah dibandingkan dengan Twin Otter yang produk terbarunya dibanderol US$ 8 juta. “Selain murah, teknologinya lebih tinggi. Dan kami sudah mengerti dengan pengalaman PT DI, kami punya pengalaman dengan pesawat-pesawat lama PT DI ‘performance safety’ bagus,” kata dia.

Rull mengklaim, perusahaannya akan memesan lebih banyak lagi selepas menerima delapan unit mulai 2017. Modal pemesanan delapan unit N219 saat ini, diakuinya berasal dari kredit investasi mitranya di Malaysia. “Kami akan melanjutkan dengan membeli 40 unit,” kata dia.

Menurut Rull, perusahaannya berminat ikut memasarkan pesawat itu di Asia Tenggara bermodal puluhan pesawat N219 pesanananya itu. “Kami punya perusahaan holding, kami juga bisa menyewakan pada operator-operator Indonesia, bisa disewakan ke negara lain,” kata dia.

Direktur Teknologi dan Pengembangan PT Dirgantara Indonesia Andi Alisjahbana mengatakan, pemesanan pesawat itu berasal dari maspakai serta pemerintah daerah. “Maskapai ada lima, kalau pemerintah daerah ada tiga,” kata dia di Bandung, Kamis, 10 Desember 2015. Daerah yang memesan di antaranya dari Aceh dan Papua yang masing-masing memesan lebih dari sepuluh pesawat N219.

Andi mengatakan, permintaan pesawat jenis N219 terhitung tinggi. Dia beralasan, pesaingnya rata-rata pesawat produksi lama. “Lawannya juga sedikit, dan ini memiliki teknologi yang paling moderen di kelasnya. Jadi sangat menarik sekali,” kata dia.

PT DI yang mendapat tugas memproduksi pesawat itu sudah menyiapkan rencana penambahan kapasitas produksinya. “Target tahun pertama bisa 12 unit pertahun, tapi kita bertahap akan naik dari 18 unit sampai 24 unit pertahun karena yang interest banyak,” kata dia.

Andi mengatakan, PT DI bersama Lapan akan mengandeng industri dalam negeri untuk mendongkrak kandungan lokal pesawat itu. Dia mengklaim, saat ini kandungan lokal N219 sudah menembus 40 persen, sementara targetannya 60 persennya kandungan lokal.

Kepala Lapan Thomas Djamaluddin mengatakan, kerja sama pengembangan N219 bersama PT Digantara Indonesia masih panjang. “Kerja sama masih terus berlanjut. N219 ini masih akan dikembangkan variasinya sesuai kebutuhan user,” kata dia.

Thomas mengatakan, pekerjaan rumah selanjutnya mengembangkan industri lokal untuk memasok kebutuhan komponen pesawat itu. “Dari Kementerian Perindustrian menyiapkan program utnuk membina industri lokal untuk komponen pesawat terbang,” kata dia.

Menurut Thomas, pengembangan N219 hingga mendapat sertifikasi laik terbang dan bisa dipasarkan itu ditaksir menyedot dana hingga Rp 500 miliar. “Secara total itu dari Lapan dan PT DI menghabiksan Rp 500 miliar sampai nanti akhir sertifikasi, seperti itu kasarnya,” kata dia.

Kepala Program N219 PT PT DI Budi Sampurno mengatakan, selepas perkenalan resminya hari ini, semua sistem dalam prototipe pesawat N219 akan dipasang, sekaligus memulai tes struktur pesawat. Dijadwalkan semuanya selesai pada Mei 2016. “Setelah itu ‘first flight test sertification’ dimulai,” kata dia di Bandung.

Budi mengatakan, pesawat itu membutuhkan 660 jam terbang untuk mendapatkan sertifikasi layak terbang Indonesia. “Kalau 2016 sudah mendapat persyaratan laik terbang, maka 2017 bisa di deliver ke customer. Dan tahun 2017 juga kami akan aplikasi untuk ‘international sertification’,” kata dia.

Menurut Budi, N219 dirancang mengungguli pesawat pesaing terdekatnya yakni Twin Otter yang dominan digunakan melayani penerbangan perintis di Indonesia. Salah satu kelebihan pesawat itu mampu mengangkat kargo lebih banyak dari pesaingnya. “Twin Otter itu dia ngangkut maksimal 1.800 kilogram, N219 ini bisa 2.300 kilogram. Lebih banyak 500 kilogram dari Twin Otter,” kata dia.

Kelebihan lainnya, kecepatan maksimal pesawat N219 bisa menembus 210 knott sementara Twin Otter hanya 170 knott. N219 juga dirancang tetap bisa take off dan landing tanpa mengurangi muatannya pada landasan dengan ketinggian 5 ribu feet, lokasi bandara tertinggi di Indonesia.

Pesawat Twin Otter misalnya saat mengudara di bandara di ketinggian 6 ribu feet, tidak bisa mengangkut penumpang dalam kapasitas penuh karena tekanan udaranya turun. “Target kita di ketinggian 5 ribu feet, take-off dan landing masih bisa bawa 19 penumpang,” kata dia.

Pesawat N219 dirancang mengangkut 19 penumpang dalam dua baris. Bagian kanan 14 tempat duduk (2x7) dan bagian kiri 5 tempat duduk (1x5). Tinggi kabin 1,7 meter, lebih lega dibanding Twin Otter yang tinggi kabin dalamnya hanya 1,5 meter. Pesawat itu juga dirancang mampu terbang di landasan pendek atau Short Take-Off Landing (Stol) di landasan 500 meter.

Delapan Unit Pesawat N219 Buatan PTDI Dipesan Malaysia | Tempo Bisnis
 
Malaysia ordering 8 unit of N219.

Delapan Unit Pesawat N219 Buatan PTDI Dipesan Malaysia

462607_620.jpg

Pesawat N219 di hanggar PT Dirgantara Indonesia, Bandung. TEMPO/Prima Mulia

TEMPO.CO, Bandung - Direktur Utama PT Air Born Indonesia Rull De Leon Nacachi mengatakan, perusahaannya sudah memesan delapan unit N219 rancangan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) dan PT Dirgantara Indonesia. “Kami sudah menandatangani LoI (Letter Of Intent), dan harganya sudah kami sepakati, dan itu kompetitif,” kata dia di sela perkenalan perdana fisik N219 di hanggar kompleks PT Dirgantara Indonesia atau PT DI di Bandung, Kamis, 10 Desember 2015.

Rull mengatakan, perusahaannya yang bermodal patungan dengan investor Malaysia, berbisnis dengan menyewakan pesawat charter dan layanan penerbangan perintis untuk usaha pertambangan, saat ini memiliki enam pesawat jenis Twin Otter. Pesawat N219 itu rencananya akan mengganti semua armada pesawat mereka di Indonesia.

Menurut Rull, N219 yang dipasarkan sekitar US$ 5 juta, terhitung murah dibandingkan dengan Twin Otter yang produk terbarunya dibanderol US$ 8 juta. “Selain murah, teknologinya lebih tinggi. Dan kami sudah mengerti dengan pengalaman PT DI, kami punya pengalaman dengan pesawat-pesawat lama PT DI ‘performance safety’ bagus,” kata dia.

Rull mengklaim, perusahaannya akan memesan lebih banyak lagi selepas menerima delapan unit mulai 2017. Modal pemesanan delapan unit N219 saat ini, diakuinya berasal dari kredit investasi mitranya di Malaysia. “Kami akan melanjutkan dengan membeli 40 unit,” kata dia.

Menurut Rull, perusahaannya berminat ikut memasarkan pesawat itu di Asia Tenggara bermodal puluhan pesawat N219 pesanananya itu. “Kami punya perusahaan holding, kami juga bisa menyewakan pada operator-operator Indonesia, bisa disewakan ke negara lain,” kata dia.

Direktur Teknologi dan Pengembangan PT Dirgantara Indonesia Andi Alisjahbana mengatakan, pemesanan pesawat itu berasal dari maspakai serta pemerintah daerah. “Maskapai ada lima, kalau pemerintah daerah ada tiga,” kata dia di Bandung, Kamis, 10 Desember 2015. Daerah yang memesan di antaranya dari Aceh dan Papua yang masing-masing memesan lebih dari sepuluh pesawat N219.

Andi mengatakan, permintaan pesawat jenis N219 terhitung tinggi. Dia beralasan, pesaingnya rata-rata pesawat produksi lama. “Lawannya juga sedikit, dan ini memiliki teknologi yang paling moderen di kelasnya. Jadi sangat menarik sekali,” kata dia.

PT DI yang mendapat tugas memproduksi pesawat itu sudah menyiapkan rencana penambahan kapasitas produksinya. “Target tahun pertama bisa 12 unit pertahun, tapi kita bertahap akan naik dari 18 unit sampai 24 unit pertahun karena yang interest banyak,” kata dia.

Andi mengatakan, PT DI bersama Lapan akan mengandeng industri dalam negeri untuk mendongkrak kandungan lokal pesawat itu. Dia mengklaim, saat ini kandungan lokal N219 sudah menembus 40 persen, sementara targetannya 60 persennya kandungan lokal.

Kepala Lapan Thomas Djamaluddin mengatakan, kerja sama pengembangan N219 bersama PT Digantara Indonesia masih panjang. “Kerja sama masih terus berlanjut. N219 ini masih akan dikembangkan variasinya sesuai kebutuhan user,” kata dia.

Thomas mengatakan, pekerjaan rumah selanjutnya mengembangkan industri lokal untuk memasok kebutuhan komponen pesawat itu. “Dari Kementerian Perindustrian menyiapkan program utnuk membina industri lokal untuk komponen pesawat terbang,” kata dia.

Menurut Thomas, pengembangan N219 hingga mendapat sertifikasi laik terbang dan bisa dipasarkan itu ditaksir menyedot dana hingga Rp 500 miliar. “Secara total itu dari Lapan dan PT DI menghabiksan Rp 500 miliar sampai nanti akhir sertifikasi, seperti itu kasarnya,” kata dia.

Kepala Program N219 PT PT DI Budi Sampurno mengatakan, selepas perkenalan resminya hari ini, semua sistem dalam prototipe pesawat N219 akan dipasang, sekaligus memulai tes struktur pesawat. Dijadwalkan semuanya selesai pada Mei 2016. “Setelah itu ‘first flight test sertification’ dimulai,” kata dia di Bandung.

Budi mengatakan, pesawat itu membutuhkan 660 jam terbang untuk mendapatkan sertifikasi layak terbang Indonesia. “Kalau 2016 sudah mendapat persyaratan laik terbang, maka 2017 bisa di deliver ke customer. Dan tahun 2017 juga kami akan aplikasi untuk ‘international sertification’,” kata dia.

Menurut Budi, N219 dirancang mengungguli pesawat pesaing terdekatnya yakni Twin Otter yang dominan digunakan melayani penerbangan perintis di Indonesia. Salah satu kelebihan pesawat itu mampu mengangkat kargo lebih banyak dari pesaingnya. “Twin Otter itu dia ngangkut maksimal 1.800 kilogram, N219 ini bisa 2.300 kilogram. Lebih banyak 500 kilogram dari Twin Otter,” kata dia.

Kelebihan lainnya, kecepatan maksimal pesawat N219 bisa menembus 210 knott sementara Twin Otter hanya 170 knott. N219 juga dirancang tetap bisa take off dan landing tanpa mengurangi muatannya pada landasan dengan ketinggian 5 ribu feet, lokasi bandara tertinggi di Indonesia.

Pesawat Twin Otter misalnya saat mengudara di bandara di ketinggian 6 ribu feet, tidak bisa mengangkut penumpang dalam kapasitas penuh karena tekanan udaranya turun. “Target kita di ketinggian 5 ribu feet, take-off dan landing masih bisa bawa 19 penumpang,” kata dia.

Pesawat N219 dirancang mengangkut 19 penumpang dalam dua baris. Bagian kanan 14 tempat duduk (2x7) dan bagian kiri 5 tempat duduk (1x5). Tinggi kabin 1,7 meter, lebih lega dibanding Twin Otter yang tinggi kabin dalamnya hanya 1,5 meter. Pesawat itu juga dirancang mampu terbang di landasan pendek atau Short Take-Off Landing (Stol) di landasan 500 meter.

Delapan Unit Pesawat N219 Buatan PTDI Dipesan Malaysia | Tempo Bisnis
i think is not ordered by Malaysia, but its ordered by Joint venture between Indonesia company with Malaysia Investor. PT Air Born is located in Indonesia..
 
Last edited:
Abis nonton sejam bersama pak budi santoso.

Untuk C212 ato NC212 atau yg improve version casa sudah gak mau produksi lagi. Tapi semua pesanan atau produksinya akan diserahkan ke PT DI. makanya pinoy pesan NC212i ke kita.

Dengan alasan pasar yang kecil (C212) jangan dipegang 2 perusahaan.

Wow banget dah
 
Abis nonton sejam bersama pak budi santoso.

Untuk C212 ato NC212 atau yg improve version casa sudah gak mau produksi lagi. Tapi semua pesanan atau produksinya akan diserahkan ke PT DI. makanya pinoy pesan NC212i ke kita.

Dengan alasan pasar yang kecil (C212) jangan dipegang 2 perusahaan.

Wow banget dah
yup.. pasarnya emang kecil.. airbus pengennya udah ngembangin body besar spt A400.. kalo gak salah CN 235 mmereka juga gak buat. makanya belgia belinya ke kita..
 
Abis nonton sejam bersama pak budi santoso. Untuk C212 ato NC212 atau yg improve version casa sudah gak mau produksi lagi. Tapi semua pesanan atau produksinya akan diserahkan ke PT DI. makanya pinoy pesan NC212i ke kita. Dengan alasan pasar yang kecil (C212) jangan dipegang 2 perusahaan. Wow banget dah

Semua fasilitas produksi NC212-400 juga dipindah ke PT.DI. Rencanaya malah udah dari 2008. Perjanjiannya ditandatangani 2011, transfernya selesai 2013.
 
Last edited:
yup.. pasarnya emang kecil.. airbus pengennya udah ngembangin body besar spt A400.. kalo gak salah CN 235 mmereka juga gak buat. makanya belgia belinya ke kita..
Yap di eropa atau amerika pasar pesud kecil mungkin sudah gak ada lagi. A400 dan C130 paling kecil kata pak budi.

Tapi di asean atau di afrika masih banyak buat penerbangan perintis. Bandara2 yg punya runway pendek ato diatas gunung dll. Dan kalo mereka mau beli ya ke PT DI.

Semoga pesenan bnyk terus

Semua fasilitas produksi NC212-400 juga dipindah ke PT.DI. Rencanaya malah udah dari 2008. Perjanjiannya ditandatangani 2011, transfernya selesai 2013.
Tinggal C295. Kalo mereka menyerahkan produksinya ke PT DI bakal wow bgt. Ngarep...

Pasar C295 masih bagus bgt soale.
 
Tinggal C295. Kalo mereka menyerahkan produksinya ke PT DI bakal wow bgt. Ngarep... Pasar C295 masih bagus bgt soale.

Kita fokus ke N245 aja, bakal banyak pesanan tuh nantinya. Pasar penerbangan sipil sepertinya lebih menjanjikan.
 
Tinggal C295. Kalo mereka menyerahkan produksinya ke PT DI bakal wow bgt. Ngarep...Pasar C295 masih bagus bgt soale.

N245 rencananya akan lebih panjang dari CN295.
CN295 10.17 feet (3m) lebih panjang dari CN235
N245 rencananya 5m lebih panjang dari CN235.
 
Last edited:
N245 rencananya akan lebih panjang dari CN295.
CN295 10.17 feet (3m) lebih panjang dari CN235
N245 rencananya 5m labih panjang dari CN235.
Yappp
Tau gak? Pak budi pas ditanya mengenai R80 kok agak sinis.seakan akan gak mau ngebahas, Pak budi masih gak mau main di atas 70 sampai 100 penumpang yg sudah dikuasi boeing, airbus dan Atr series. Krn kalo kita buat mereka para monster bisa ngasih diskon 40%.

Makanya pak budi bilang abis N219 fokus ke N245 krn pasarnya akan bagus, belum ada pemain dikelas ini. Gk langsung ke R80.

@tatang
12357603_957155397700839_437197549_n.jpg
 
The collaboration I suggest can be anything, it also means using Ragio designers as technical assistant of N 270 project as all are Indonesians. This also means shutting down R 80 project built by Ragio, and the program will be continued by LAPAN/DI/ PT Ragio.

As thomas said... R80 will be in different league compared to N270 because it is sophisticated aircraft. (I think It may even better than N250)


Thomas Djamaluddin: Pesawat N219 Sederhana Tapi Sesuai Kebutuhan
 
As thomas said... R80 will be in different league compared to N270 because it is sophisticated aircraft. (I think It may even better than N250)


Thomas Djamaluddin: Pesawat N219 Sederhana Tapi Sesuai Kebutuhan

Of course it should be better than N 250, this is why we will make a new design, if not, we just can use N 250-100 design and make 2 more prototypes.

Nope, friend, R 80 and N 270 target similar market, it is fool to create 2 similar types of Airplane that will be manufactured in one company (PT Dirgantara). Better both of them to collaborate and since R 80 designers are Indonesian former Boeing designers, so it is the best project to transfer the knowledge to the junior designers.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sorry for non Indonesian folks, you need to translate it, but I will give short information regarding this news, this news tell about our rocket and satellite program (Indonesian Made).

Kapan Satelit Indonesia Bisa ke Antariksa Tanpa "Numpang" Roket Tetangga?
Senin, 28 September 2015 | 17:18 WIB
88
Shares
1715327satelit-astrosat-lapan-a2780x390.JPG
ISRO/YoutubePeluncuran roket PSLV C30 yang membawa satelit LAPAN A2/ORARI dari Pusat Antariksa Satish Dhawan, Sriharikota, India pada Senin (28/9/2015) pada pukul 11.30 WIB.

KOMPAS.com — Ibarat mau keliling kota, satelit Indonesia harus menumpang mobil tetangga. Satelit Lapan A2/Orari yang mengorbit Bumi mulai Senin (28/9/2015) harus mengantariksa dari negara tetangga karena Indonesia tak punya roket dan bandar antariksa.

Ketiadaan roket dan bandar antariksa ini merugikan. Misi Lapan A2/Orari harus tertunda tiga tahun. Sebenarnya, Lapan A2/Orari sudah siap untuk diluncurkan pada 2012. Namun, karena harus menunggu tumpangan dan jadwal kosong di bandar antariksa India, misi itu tertunda.

Indonesia sebenarnya juga ingin mandiri. Memiliki bandar antariksa seperti di Cape Canaveral di California atau Pusat Antariksa Satish Dhawan, Sriharikota, India, tempat Lapan A2/Orari diluncurkan, Indonesia juga mau. Namun, untuk memilikinya, Indonesia tak bisa cuma berwacana.

Rencana sudah ada. Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin mengungkapkan bahwa sejak lama Lapan telah menyusun roadmap menuju kemandirian antariksa. "Untuk roket kita mulai dengan pengembangan roket sonda," katanya.

Pada 13 Mei 2015 lalu, Lapan telah melakukan uji coba terbang roket RX 450 di Balai Produksi dan Pengujian Roket di Pamengpeuk, Bogor. RX 450 menjadi cikal bakal Roket Peluncur Satelit (RPS) masa depan Indonesia. Pengembangan RX 450 adalah bagian dari rencana Lapan untuk mendukung kemandirian roket.

RX 450 yang baru saja diuji coba terbang memiliki diameter 450 milimeter dan mampu mencapai ketinggian 44 km dan 129 km jika ditembakkan pada sudut elevasi 70 derajat. Roket itu mampu membawa beban hingga 50 kilogram. Setelah RX 450, Lapan mengembangkan roket selanjutnya, RX 550, yang memiliki diameter lebih besar.

Uji coba peluncuran itu adalah yang kesekian kali dilakukan Lapan. Tahun 2014, Lapan telah menguji coba terbang roket RX 320 dan RX 3240. Kedua roket tersebut adalah jenis roket sonda, roket yang biasa digunakan untuk misi meneliti parameter atmosfer, kelembaban, dan temperatur.

Untuk bandar antariksa, wacana pembangunannya sudah lama. Studi lokasi pembangunan bandar antariksa pernah dilakukan di Enggano dan Morotai. Morotai hingga saat ini menjadi calon terkuat. Bandar antariksa tersebut ditargetkan bisa mulai dibangun pada tahun 2025.

Peluncuran Lapan A2/Orari adalah bagian dari rencana untuk kemandirian satelit. Saat ini, Lapan berkonsentrasi untuk mengembangkan satelit mikro yang bisa menghasilkan data-data akurat. Lapan A2/Orari adalah tahap kedua setelah sebelumnya sudah meluncurkan Lapan A1/Tubsat.

"Lapan A2 berbeda dengan Lapan A1 karena sudah memiliki beban operasional 20 persen. Lapan A1 sepenuhnya merupakan satelit eksperimental. Artinya, kita tidak melihat dulu data-data yang dihasilkan, hanya memastikan satelit bisa berfungsi," kata Thomas saat ditemui hari ini.

Tahun depan, Lapan merencanakan peluncuran Lapan A3 yang dikembangkan bersama Institut Pertanian Bogor (IPB). Satelit itu berfungsi memantau kondisi pertanian. Beban operasional pada satelit tersebut akan ditingkatkan menjadi 40 persen. Selain itu, Lapan A3 juga akan memiliki kamera lebih mumpuni.

Selanjutnya, akan dikembangkan Lapan A4 dan A5. Lapan A4 saat ini sudah masuk masa perancangan. Sementara itu, Lapan A5 saat ini tengah menyusun target misi. Kedua satelit tersebut kemungkinan akan diluncurkan setelah tahun 2020. Lapan A5 sendiri diharapkan sudah mampu 100 persen beroperasi.

Kapan rencana itu akan bisa diwujudkan? Jawabannya bergantung pada kemauan menginvestasikan uang dan sumber daya manusia. Anggaran rekayasa hingga kini masih kecil. Tahun 2016, anggaran Lapan diperkirakan hanya Rp 700 miliar dari Rp 1,3 triliun yang diminta. Sementara itu, sumber daya manusia masih kurang.

Sebagai perbandingan, India menggelontorkan dana besar untuk kemandirian antariksa. Keantariksaan menjadi priorotas. "Karena mereka sadar bahwa banyak persoalan yang dihadapi, mulai kebencanaan, pangan, dan lainnya, bisa diselesaikan dengan teknologi antariksa," kata Thomas.

India merintis keahlian keantariksaan pada waktu bersamaan dengan Indonesia. Namun, mereka kini sudah bisa mengirim wahana Mangalyaan ke Mars. Hari ini, India meluncurkan satelit astronomi pertama, Astrosat, dengan roket yang sama dengan Lapan A2/Orari.

Teknologi antariksa kini jadi kebutuhan utama. Mau memantau kasus kebakaran hutan? Teknologi antariksa paling mumpuni dan hingga kini kita masih menggunakan data satelit asing. Mau memantau daerah terluar dan perikanan ilegal? Paling efektif juga dengan teknologi antariksa. Investasi pada teknologi antariksa takkan percuma.

Kapan Satelit Indonesia Bisa ke Antariksa Tanpa "Numpang" Roket Tetangga? - Kompas.com
 
Back
Top Bottom