Muslim Uighur: Mengapa ormas Islam dan pemerintah Indonesia 'bungkam' atas dugaan pelanggaran HAM di Xinjiang?
Ayomi AmindoniWartawan BBC News Indonesia
18 Desember 2019
Sikap ormas-ormas Islam dan pemerintah Indonesia yang cenderung "bungkam" atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnik minoritas Uighur di Xinjiang, China, dianggap berkaitan dengan urusan ekonomi.
Namun, hal ini dibantah oleh perwakilan pemerintah yang menyebut, Indonesia melakukan "pendekatan diplomasi lunak yang proporsional" terhadap masalah itu.
Tudingan itu semula diberitakan oleh sebuah surat kabar Amerika Serikat berdasarkan hasil penelitian lembaga kajian Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC),
Explaining Indonesia's Silence on The Uighur Issue yang dirilis Juni silam.
Wakil Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang juga juru bicara wakil presiden, Masduki Baidlowi, membantah isu organisasinya dirayu oleh China terkait Muslim Uighur.
Dia pun menegaskan, pemerintah Indonesia tidak bersikap lantang atau yang dia sebut sebagai
'megaphone diplomacy' dan sebaliknya menempuh pendekatan diplomasi lunak.
"Indonesia mengambil sikap
soft diplomacy yang proporsional.
Soft diplomacy bukan berarti lemah, kami juga lakukan langkah-langkah," ujar Masduki kepada BBC News Indonesia, Rabu (18/12).
Ratusan ribu Muslim Uighur dilaporkan dipenjara di kamp-kamp untuk menjalani hal yang disebut sebagai
pencucian otak, meskipun pemerintah China mengatakan mereka mendapatan pelatihan secara suka rela.
'Tidak berdasar' dan 'fitnah'
Sebelumnya, surat kabar
Wall Street Journal melaporkan bahwa pemerintah China mendanai sekelompok delegasi asal Indonesia yang terdiri dari organisasi Islam dan wartawan untuk berkunjung ke Xinjiang dalam upaya meraih dukungan internasional dan membentuk opini publik.
Tudingan bahwa dua ormas Islam terbesar Indonesia dibungkam dengan gelontoran dana dari pemerintah China agar tidak menyuarakan penderitaan Muslim Uighur di Xinjiang, China langsung dibantah oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Namun, Wakil Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masduki Baidlowi menyebut bahwa tudingan itu "tidak benar".
Dia beralasan kunjungan perwakilan organisasinya bersama Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Februari silam adalah untuk memastikan pemberitaan terkait adanya dugaan pelanggaran HAM berat dan kamp-kamp konsentrasi yang didedikasikan untuk Muslim Uighur di Xinjiang.
"Setelah sampai sana, ternyata memang ada sebagian pemberitan itu benar, ada yang tidak."
"Memang tidak ada kamp konsentrasi yang dibayangkan ada penyiksaan segala macam, karena yang terjadi itu semacam kelas-kelas pelatihan yang sangat besar. Orang-orang yang terpapar radikalisme memang dilatih vokasi.
"Tetapi yang menjadi problem buat kami, saudara-saudara muslim kami disana tidak mendapat hak-hak sepenuhnya, terutama dalam hal beribadah. Ini yang menjadi soal buat kami," ujar Masduki.
Organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyah, juga membantah dan menyebut tudingan itu "tidak berdasar" dan "fitnah".
Sekjen Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengakui kunjungan perwakilan organisasinya bersama NU dan MUI, ke beberapa pusat pelatihan untuk Muslim Uighur di Xinjiang Februari lalu diadakan atas undangan pemerintah China. Dia pula menegaskan, kunjungan itu tidak membuat sikap mereka terhadap pelanggaran HAM, melunak.
"Sikap Muhammadiyah, tidak pernah berubah. Muhammadiyah akan senantiasa menyampaikan sikap dan pandangannya berdasar prinsip-prinsip dakwah
amar ma'ruf nahi munkar ."
"Oleh karena itu dalam kaitannya dengan pelanggaran HAM itu, Muhammadiyah akan senantiasa tegas dan menentang segala bentuk pelanggaran HAM di mana pun, oleh siapa pun, kepada siapa pun," ujar Mu'ti dalam keterangan pers, Selasa (17/12).
Dia pun mendesak pemerintah Indonesia agar menindaklanjuti arus aspirasi umat Islam dan bersikap lebih tegas untuk menghentikan pelanggaran HAM di Xinjiang sesuai dengan amanat UUD 1945 dan politik luar negeri yang bebas aktif.
"Pemerinta Indonesia hendaknya lebih aktif menggunakan peran sebagai anggota OKI dan anggota tidak tetap Dewan KEamanan PBB untuk menggalang diplomasi dihentikannya pelanggaran HAM di Xinjiang dan beberapa negara lainnya," ujarnya.
Tidak ada kebebasan beragama di Xinjiang
Dalam kunjungan tersebut, rombongan ormas Islam dari Indonesia yang terdiri dari 15 orang menemukan adanya pelanggaran HAM berupa dikekangnya kebebasan beragama yang dialami Muslim Uighur, seperti diungkapkan oleh salah satu delegasi yang juga merupakan Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhyiddin Junaidi.
"Kunjungan ke beberapa tempat, masjid, ke insitut agama Islam semakin meyakinkan kami bahwa tidak ada kebebasan beragama, freedom of religion itu tidak terbukti," ujar Muhyiddin.
Hal ini disebabkan dalam konstitusi China disebutkan bahwa agama hanya bisa dipraktikkan di ruang tertutup dan dilarang dipraktikkan di ruang terbuka.
"Kalau menggunakan jilbab dan keluar ruangan, Anda dianggap radikal. Kalau Anda radikal maka Anda berhak dikirim ke re-education center ."
"Selama di re-education cente r, tidak boleh sholat, tidak boleh puasa, tidak boleh baca Al Quran, makan seadanya yang disajikan pemerintah dan itu under heavy surveilance ," tuturnya.
Gambaran yang disampaikan Muhyiddin konsisten dengan berbagai temuan sejumlah lembaga internasional.
PBB memperkirakan sekitar satu juta Muslim Uighur ditahan di kamp-kamp penjara yang oleh pemerintah China disebut pusat re-edukasi.
Meski tudingan kucuran dana dari pemerintah China itu ditampik oleh NU dan Muhamadiyah, laporan lembaga pemikir IPAC mengungkap apa yang disebut 'hubungan harmonis' antara dua ormas Islam besar di Indonesia itu dengan pemerintah China, sudah berlangsung lama.
"Bantuan-bantuan donasi atau
funding terhadap NU dan Muhammadiyah sudah berlangsung bertahun-tahun, sejak Indonesia membuka hubungan diplomatik kembali dengan China di akhir 1990an," ujar peneliti IPAC, Deka Anwar.
'Hubungan harmonis' antara ormas Islam dan pemerintah China
Dalam laporannya, IPAC menyebut bahwa kedua ormas telah menandatangani kerjasama dengan pemerintah China dalam hal bantuan pendidikan, kesehatan dan pemberantasan kemiskinan.
IPAC menemukan bahwa pada bulan Ramadhan 2015, Kedutaan Besar China di Jakarta mendonasikan Rp 100 juta untuk anak-anak yatim piatu di Nahdlatul Ulama.
Pada 2018, Kedutaan Besar China mendonasikan fasilitas instalasi sanitasi di beberapa desa yang dihuni anggota NU di Cirebon, Indramayu dan Karawang.
Pada saat yang sama, Duta Besar China pula mengumumkan beasiswa bagi mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama.
Pada Juni silam, NU mendirikan kantor cabang di China dan hingga Juni 2019, telah ada sekitar 246 mahasiswa Indonesia yang menjalankan studi di sana.
Sementara itu, pada pertengahan tahun ini, universitas dan rumah sakit yang dikelola Muhammadiyah menjalin kerjasama dengan sejawatnya di China.
"Ormas besar di Indonesia memiliki hubungan yang harmonis dengan Kedutaan Besar China. ada ratusan mahasiswa NU yang belajar di China, mereka bisa memberikan testimoni bahwa tidak ada Islamofobia di China.
"Tapi kan Islamofobia di China tidak ada, bukan berarti pelanggaran HAM di provinsi Xinjiang tidak ada," kata Deka.
Lebih jauh, Deka menjelaskan ada dua alasan mengapa Indonesia bungkam terhadap isu Muslim Uighur.
"Bahwa investasi China begitu besar jadi kita bungkam. Kedua, masyarakat Muslim Indonesia masih terbagi, masih banyak yang belum percaya dengan pelanggaran HAM di Xinjiang," jelasnya.
Namun, hal ini ditampik oleh Wasekjen PBNU Masduki Baidlowi yang menyebut kerjasama terkait pendidikan, tidak hanya dijalin dengan pemerintah China saja, namun juga negara-negara lain.
"Jadi tidak ada yang spesifik kedekatan khusus, itu
nggak ."
"Karena kedekatan kita bangun hubungan yang baik untuk bagaimana kita melakukan dakwah Islam ke berbagai negara. Karena NU sebagai batang tubuh Islam moderat di Indonesia, kita ingin mengekspor ajaran Islam yang ramah ini ke berbagai negara yang lain," jelasnya.
Masduki yang juga juru bicara Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengungkapkan, berbeda dengan negara-negara barat yang lantang menyuarakan pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur -kebijakan yang disebut
megaphone diplomacy - Indonesia memilih pendekatan lunak menyoal isu tersebut.
Dia mencontohkan dalam pertemuan pejabat dari berbagai negara di Madrid, Spanyol beberapa waktu lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menanyakan persoalan Muslim Uighur kepada Pemerintah China yang turut hadir dalam even tersebut.
"Artinya, kami tidak diam. Tetapi yang lain berteriak seperti pemerintahan di Eropa atau Amerika, dan kami tidak berteriak. ketika kami tidak berteriak, jangan lalu dianggap bahwa kami itu bungkam," tegas Masduki.
Sejauh ini belum ada demonstrasi besar di Indonesia sehubungan dengan dugaan pelanggaran HAM yang dialami oleh Muslim Uighur di China, terutama baru-baru ini setelah muncul laporan dugaan pencucian otak di kamp-kamp tahanan.
Dalam kasus-kasus internasional lain, seperti masalah Palestina dan Rohingya, sejumlah ormas kerap menyuarakan dukungan mereka.
Pemerintah China dalam berbagai kesempatan selalu membantah telah terjadi pelanggaran terhadap warga Muslim Uighur.
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50835364
The delegation from NU(largest Islamic organization in Indonesia or even in the world), Muhammadiyah (second largest) and MUI confirm about human right issues in Xinjiang, their visit in February found that there is no freedom of religion, muslims not allowed to wear hijab, pray, fasting, read Qur'an and they eat whatever food given by the guards while in the camp (could be non halal food).
@Indos do you think our government approach towards this issue is enough? Active-soft diplomacy
Sama juga kebijakan mengenai rakhine, di depan publik pemerintah tidak menekan pemerintah myanmar, tapi dibelakang layar cukup aktif memberi bantuan dan mencari jalan keluar.