Padewakang boat, a traditional wooden boat that already extinc from Sulawesi have been used by bugis people to sail to Australia to trade with aborigin people since the ancient time, now they built one and sail to Australia again for napak tilas sejarah.
The boat is built in bulukumba, in the 1986 phinisi boat built in bulukumba crossed pacific ocean and sailed to Canada and participated in Expo 86.
Padewakang boat.
The boat arrived in Australia.
Kejayaan Moyang Pelaut Makassar Tiba Kembali di Australia Utara
Kejayaan pelaut Makassar seakan tiba kembali di Marege, tanah Aborigin.
Senin , 03 Feb 2020, 17:31 WIB
ANGKAT sauh dari Pelabuhan Makassar pada 8 Desember 2019, Padewakang, perahu tradisional yang dahulu konon digunakan mencari teripang, akhirnya tiba di Kota Darwin pada akhir Januari. Kejayaan pelaut Makassar seakan tiba kembali di Marege, tanah Aborigin yang mereka datangi hampir tiga abad silam.
"Komposisi kru Padewakang kontemporer ini mirip dengan yang terjadi di masa silam. Dulu pelayar dan pencari teripang didominasi pelayar Makassar dan Bugis, diikuti orang Bajau, Mandar, Flores dan Jawa. Sekarang juga demikian," ujar Muhammad Ridwan Alimuddin, salah satu kru.
Kru kapal kayu yang hanya mengandalkan layar ini terdiri atas Sampara Daeng Nyarrang, Anton Daeng Tompo, Kaseng Daeng Sewang, dan Umar Daeng Naba dari Makassar.
Selain itu, Abdul Muis, Basir, dan Ridwan dari Mandar, Guswan Gunawan dari Bugis, Rofinus Marianus Monteiro dari Flores, serta Horst Hibertus Liebner, antropolog Jerman yang kini menunggu status WNI-nya.
Horst sudah lebih dari tiga dekade tinggal di Makassar sebagai peneliti kemaritiman dan tenaga ahli Kemenko Maritim. Dia bertindak sebagai koordinator pelayaran Padewakang.
Berbeda dengan perahu Phinisi yang lebih terkenal, jenis perahu kayu Padewakang konon sudah punah sejak satu abad silam. Padewakang berevolusi menjadi Phinisi.
"Padewakang yang kami gunakan ini dibuat ulang dari nol dan selesai pada November 2019," kata Ridwan kepada wartawan
ABC Farid M Ibrahim, Senin (3/2/2020).
Konsul Jenderal Australia di Makassar Richard Mathews yang mendukung proses pelayaran napak-tilas ini menjelaskan, pembuatan perahu Padewakang ini unik karena dahulu di akhir tahun 1980-an pernah ada ekspedisi serupa ke Australia Utara dari Makassar.
"Dulu menggunakan perahu padewakang Hati Marege dan sekarang menggunakan padewakang Nur Al Marege. Yang dulu dibuat oleh sang ayah dan yang sekarang dibuat oleh anaknya," kata Konjen Mathews kepada
ABC.
Pembuat perahu atau dikenal sebagai panrita lopi yang dimaksud adalah Haji Jafar (ayah) dan Haji Usman (anak) yang berasal dari Tana Beru, Kabupaten Bulukumba. Di sanalah padewakang "dihidupkan" kembali.
Perahu ini tidak menggunakan mesin dan hanya mengandalkan layar. Makanya, waktu keberangkatannya pun dicocokkan dengan musim angin barat di awal Desember.
Konstruksinya pun dirancang persis 250 tahun silam. Misalnya bahan untuk layarnya menggunakan serat daun gebang, yang ditenun di Sulawesi Barat dan dijahit oleh pelaut-pelaut Mandar yang didatangkan khusus ke Tana Beru.
Padewakang digunakan para pelaut Makassar sekitar awal abad 18 untuk mencari teripang ke perairan Marege, yang kini dikenal sebagai Arnhem Land di Australia Utara.
Konon setiap musim barat, puluhan armada padewakang berlabuh di pesisir utara Australia. Mereka tinggal berbulan-bulan di sana, mencari tripang di laut dan mengolahnya di darat bersama penduduk Aborigin.
Menurut Ridwan, biasanya enam bulan kemudian saat musim timur, mereka kembali ke Sulawesi membawa tripang kering. Kadang orang Aborigin ikut naik perahu ke Makassar.
Meski tradisi pelayaran padewakang ini berakhir di tahun 1907 karena dilarang penguasa kolonial, hubungan ratusan tahun itu menimbulkan kesan mendalam bagi orang Aborigin.
Momen paling berbahaya
Selama pelayaran, kata Ridwan, saat menggulung dan membuka layar merupakan momen paling berbahaya di atas padewakang. Khususnya bagi kru yang bertugas di haluan mengendalikan tali-temali.
"Pernah kejadian di perairan Bulukumba, salah satu awak tertarik ke luar dari perahu gara-gara salah satu temali tidak ditangani dengan baik. Karena tali tak dilepaskannya, dia beraksi bak Tarzan. Menggantung. Untung dia bisa segera berayun kembali ke badan perahu," ujarnya.
Di Laut Flores, Nur Al Marege juga mengalami masalah dengan robeknya layar berbahan organik akibat angin kencang. Butuh waktu satu jam sebelum perahu terombang-ambing itu bisa melanjutkan pelayaran dengan menggunakan layar cadangan.
Masih di perairan yang sama, perahu ini kemudian mengalami patah kemudi kiri. Setelah diganti, giliran kemudi kanan yang patah.
"Memasang kemudi di laut berombak besar repotnya bukan main. Pasalnya, setengah lusin kru harus berjibaku di sisi buritan. Ada yang menahan kemudi seberat puluhan kilo, yang lain mengikat, memasang segala macam perangkat pengaman kemudi," tutur Ridwan.
https://www.republika.co.id/berita/...laut-makassar-tiba-kembali-di-australia-utara